REVIEW TIGA PARADIGMA PEMBANGUNAN (Strukturalis, Humanis Dan Empowering) “Sebuah Komparatif dan Kritik serta Saran”
REVIEW TIGA PARADIGMA PEMBANGUNAN(Strukturalis, Humanis Dan Empowering)“Sebuah Komparatif dan Kritik serta Saran”
Pembangunan
adalah upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat secara terencana
dan berkelanjutan untuk melakukan perubahan sosial masyarakat dengan tujuan
memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan kesejahteraan.
Singkatnya pembangunan adalah upaya untuk merubah keadaan sosial ekonomi
ke arah yang lebih baik. Upaya ini dilakukan oleh semua negara di dunia, baik
negara maju maupun negara-negara berkembang. Dalam perkembangannya dari masa ke
masa, pembangunan mengalami perubahan paradigma, teori dan pendekatan sebagai
akibat dari perubahan cara pandang para ahli mengenai kata pembangunan itu
sendiri. Beberapa paradigma yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut:
A.
PARADIGMA STRUKTURALIS
Fokus utama paradigma ini adalah politik dan ekonomi. Paradigma
strukturalis memungkinkan negara-negara berkembang untuk mentransformasikan
struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian
subsiten tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi ke
kehidupan perkotaan, dan lebih bervariasi, serta memiliki sektor industri
manufaktur dan sektor jasa-jasa yang tangguh. Paradigma struktural tersebut dalam
analisisnya menggunakan perangkat-perangkat neo-klasik berupa konsep-konsep
harga, alokasi sumber daya dan metode-metode ekonomi untuk menjelaskan
terjadinya proses transformasi suatu negara.
BACA JUGA:
Paradigma Struktural mempunyai dua
model, yaitu:
1. Model Pembangunan Lewis
Dalam
Model Pembangunan Lewis, perekonomian dianggap terdiri dari dua sektor:
1)
Sektor Tradisional
Yaitu sektor dengan ciri-ciri di
pedesaan, subsistem, kelebihan tenaga kerja dan produktivitasnya marjinalnya. Dengan
kata lain adalah sektor ini
2)
Sektor Modern
Sektor modern meiliki ciri-ciri
perkotaan, industri, produktivitasnya tinggi, sebagai tempat penampungan tenaga
kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari Sektor Tradisional. Model ini
memfokuskan pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan
ekonomi serta kesempatan kerja di Sektor Modern, yang dimungkinkan dengan
adanya perluasan lapangan kerja di Sektor Modern.
2. Model Perubahan Struktur dan
Pola Pembangunan Hollis Chenery
Model ini dikembangkan oleh Hollis
Chenery yang menyarankan adanya perubahan struktur produksi, yaitu pergeseran dari produksi barang pertanian ke
produksi barang industri pada saat pendapatan per kapita meningkat. Model
ini menyatakan bahwa peningkatan tabungan dan investasi perlu tetapi tidak
harus cukup (necessary but not sufficient condition) untuk memungkinkan
terjadinya pertumbuhan ekonomi. Pola ini juga menyaratkan bahwa selain
akumulasi modal fisik dan manusia, diperlukan pula himpunan perubahan yang
saling berkaitan dalam struktur perekonomian suatu negara untuk
terselenggaranya perubahan dari sistem ekonomi tradisional kesistem ekonomi
modern. Perubahan struktur ini melibatkan seluruh fungsi ekonomi termasuk
tranformasi produksi dan perubahan dalam komposisi permintaan konsumen,
perdaganganinternasional serta perubahan-perubahan sosial-ekonomi seperti
urbanisasi, pertumbuhan dan distribusi penduduk.
Kritik Saya terhadap paradigma Strukturalis
Teori
ini tidak
menghargai karakteristik dan budaya masyarakat lokal (petani dan
nelayan). Sebab
paradigma strukturalis menginstruksikan negara-negara berkembang yang
notabenenya berkarakteristik pertanian tradisional untuk mentransformasikan
struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian
subsiten tradisional ke perekonomian yang lebih modern dan lebih berorientasi
ke kehidupan perkotaan. Dengan cara yang demikian, maka apa yang menjadi
potensi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat lokal sama sekali akan dihilangkan
dan ditransformasikan secara radikal ke dalam kehidupan perkotaan yang
individualistik.
Karena bila demikian halnya, maka akan menimbulkan
hal-hal sebagi berikut:
1. Mengesampingkan
karakteristik budaya, dan potensi masyarakat lokal yang bisa saja diolah agar
menjadi modal dalam memperkuat ekonomi masyarakat lokal.
2. Karena
pendekatan pembangunan sturuktural yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi maka
akan mengakibatkan berbagai bentuk ketimpangan social dan menimbulkan berbagai
persoalan lain seperti timbulnya akumulasi nilai-nilai hedonistik, ketidak
pedulian sosial, erosi ikatan kekeluargaan dan kekerabatan,
3. Pendekatan juga ini mengakibatkan ketergantungan masyarakat desa
pada pemerintah sebagai penguasa dalam pembuatan kebijakan pembanugnan
ekonomi karena mereka tidak dilibatkan di dalamnya. Yaitu ketergantungan
masyarakat pada birokrasi-birokrasi sentralistik yang memiliki daya absorsi
sumber daya yang sangat besar, namun tidak memiliki kepekaan terhadap
kebutuhan-kebutuhan lokal, dan secara sistematis telah mematikan inisiatif
masyarakat lokal untuk memecahkan masalah-masalan yang mereka hadapi.
4. Pembangunan yang berpolakan struktural ternyata meminggirkan posisi ekonomi masyarakat
lokal (the development of
underdevelopment).
5. Menafikan eksistensi sistem sosio-budaya masyarakat
lokal, sehingga bukan kemajuan yang dihasilkan dari proses modernisasi tersebut
melainkan kemadegan. Dalam hal ini, para scholars menyebutnya sebagai modernization
without development.
6. Pola
ini sangat menguntungkan pertumbuhan
dan ekspansi modal serta proses akumulasi kapital bagi perekonomian Barat serta
Global.
7. Justru mendorong proses-proses
disintegrasi sosial-masyarakat di kawasan sedang berkembang, dimana semangat
kolektivitas (misal: gotong-royong) sebagai ciri sosiologis penting hilang secara dramatis.
8. Pada taraf lanjut, negara-negara
tujuan investasi asing menjadi pasar bagi produk-produk dari investasi asing
tersebut.
9. Pada titik inilah berlangsung proses
“economic leakage” (pembocoran sumberdaya ekonomi) dari
negara-negara berkembang
ke negara maju.
Dengan
demikian, maka akibat dari adanya pembangunan yang berorientasi pada peradigma
ini maka yang dihasilkan adalah:
1. Pembangunan
tidak menghasilkan kemajuan, melainkan justru semakin meningkatkan
keterbelakangan (the development of underdevelopment).
2. Melahirkan
ketergantungan (dependency) negara sedang berkembang terhadap negara
maju.
3. Melahirkan
ketergantungan (dependency) masyarakat terhadap negara/pemerintah.
4. Melahirkan
ketergantungan (dependency) masyarakat kecil (buruh, usaha kecil, tani,
nelayan dll) terhadap pemilik modal.
BACA JUGA:
B.
PARADIGMA HUMANIS
Pada dasarnya, paradigma ini bermuara
pada pandangan subyektivitas yang berpijak
pada kesadaran manusia. Sehingga lebih menekankan kepada nilai-nilai
kemanusiaan dalam pembangunan. Implikasinya, pada persoalan etika, dan moralitas
sebagai landasan dan tujuan pembangunan.
Paradigma Humanis lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia.
Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk
melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut
sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya
memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan
positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat
dalam domain afektif. Emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak
dari para pendidik beraliran humanisme. Tokoh-tokoh penting dalam paradigma ini
antara lain adalah Arthur Combs,
Abraham Maslow, Carl Ransom Rogers, Aldous Huxley, David Mills dan Stanley Scher
Kaum humanis cenderung menekankan
perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang
ada. Mereka beranggapan bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu
oleh struktur idiologis yang berasal dari luar dirinya. Sehingga dia tidak lagi
menjadi dirinya sendiri. Oleh belenggu itu, membuat pemisah antara dirinya
dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam kesadaran
palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya
sebagai manusia sejati.
Karena itu, fokus utama dari paradigma
ini adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua
bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia. Untuk
itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa memutuskan
belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan untuk
mencapai harkat kemanusiaannya.
BACA JUGA:
Peran Paradigma Humanis dalam Pembangunan
Bertolak
dari paparan di atas, terungkap bahwa paradigma humanisasi adalah suatu
kebutuhan pembangunan yang lebih menekankan nilai-nilai kemanusiaan. Pembangunan yang bermuara pada pendekatan humanis
adalah suatu proses pembangunan yang memberikan perhatian terhadap persoalan peningkatan martabat kemanusiaan. Implikasinya,
pada persoalan etika, dan moralitas sebagai landasan
dan tujuan pembangunan. Artinya, sebagai Landasan Pembangunan, dalam
melaksanakannya ada etika yang harus diperhatikan. Sedangkan Sebagai Tujuan Pembangunan, Etika pembangunan
tersebut harus menjadi arah dan sasaran
pembangunan. Dengan demikian maka akan tercapainya perpaduan antara tatanan negara yang demokratis dengan sikap dan perilaku masyarakat yang manusiawi.
Menurut Magnis Suseno paradigma Pembangunan Humanis memiliki
3 prinsip etis yaitu:
1) Pembangunan
harus menghormati hak-hak asasi manusia.
2) Harus
demokratis
3) Prioritasnya
harus menciptakan taraf minimum keadilansosial.
Adapun tujuan pembangunan dari Pendekatan Humanis antara lain:
1. Human Capital
Yaitu Modal pembangunan ekonomi
nasional adalah tenaga kerja yang murah (unskilled). Eksploitasi pekerja murah di sektor primer dan sekunder. Seperti:
1) Migrasi tenaga kerja dari sektor primer ke sekunder(dari desa ke kota).
2) Rakyat hanya merupakan obyek, bukan subyek pembangunan.
1) Migrasi tenaga kerja dari sektor primer ke sekunder(dari desa ke kota).
2) Rakyat hanya merupakan obyek, bukan subyek pembangunan.
2. Growth With Equity
Yaitu Pemerataan distribusi
pendapatan melalui berbagai program untuk meringankan beban masyarakat miskin.
Seperti:
1) Program Padat Karya.
2) Perbaikan struktural di sektor produktif.
3) Pengurangan intervensi pemerintah untuk mengurangidistorsi pasar.
1) Program Padat Karya.
2) Perbaikan struktural di sektor produktif.
3) Pengurangan intervensi pemerintah untuk mengurangidistorsi pasar.
3. Social Capital & Social Development
Yaitu memprioritaskan pembangunan
pada perbaikan kelembangaan sosial, pertumbuhan dan hak-hak sosial anak,
perubahan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang kondusif bagi peningkatan produktivitas
yang mendorong pertumbuhan aktivitas ekonomi. Lebih pro rakyat miskin melalui
berbagai program dalam peningkatan kualitas pelayanan sosial, pendidikan,
kesehatan, pelatihan kerja. Namun masih cenderung bias pada sektor-sektor produktif/sistempasar,
para pelaku pasar & aparatur pemerintah sebagaipelaksana/agen pembangunan.
4. Human Development
Yaitu, dilandasi oleh keyakinan dan
pengakuan atas kekuatan people choices, rakyat diberi kesempatan untuk
menggunakan kapabilitas dan kapasitasnya untuk membangun dirinya sendiri. Bersifat
universal, non diskriminatif, menempatkan masyarakat sebagai subyek
pembangunan, mendorong peningkatan kapabilitas dan penggunaannya, serta
mengurangi deprivasi/penderitaan dan berorientasi pada sustainability atau keberlanjutan
kesejahteraan generasi penerus.
BACA JUGA:
Catatan Kritis pada Teori Humanistik
1)
Kelebihan pembangunan yang menganut
Pendekatan Humanis
1)
Memotivasi pemerintah untuk mempertibangkan aspek
kemanusiaan dalam pembangunan
2)
Menciptakan ide-ide baru pembangunan
transportasi perkotaan harus dikembalikan menjadi satu sistem transportasi yang
humanis dan terpadu melalui penyelenggaraan transportasi publik yang efektif,
efisien, handal, terjangkau dan berkelanjutan.
3) Masyarakat
dituntut untuk berusaha agar lambat launmampu mencapai aktualisasi diri dengan
sebaik-baiknya.
4) Dengan
menekankan pada nilai-nilai kemanusiaan maka hak-hak dasar manusia akan menjadi
tolok ukur dalam pembangunan.
5) Memberikan
pendidikan yang menyeluruh agar manusia dapat mencapai kesadaran masksimal
dalam membangun dirinya untuk mendukung pelaksanaan pembagunan.
6) Harus demokrasi
7) Melakukan internalisasi dan tranformasi nilai-nilaikemanusiaan melalui
pendidikan. Untuk meningkatkankesadaran bahwa manusia adalah makhluk sosial.
2)
Kelemahan pembangunan yang menganut
Pendekatan Humanis
1) Para
administratif kesulitan dalam mengenal diri dan potensi-potensi yang ada pada
diri mereka.
2)
Teori humanistik tidak bisa diuji dengan
mudah.
3)
Banyak konsep dalam
psikologi humanistik, seperti misalnya orang yang telah berhasil mengaktualisasikan
dirinya, ini masih buram dan subjektif.
4)
Psikologi humanistik
mengalami pembiasan terhadap nilai individualistis
C.
PARADIGMA
EMPOWERING
Pemberdayaan masyarakat dimaknai
sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam
merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal, sehingga pada akhirnya
mereka memiliki kemampuan (daya) dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan
sosial. [Subejo dan Supriyanto (2004)]. Konsep pemberdayaan mulai menjadi tema
sentral dalam teori atau pendekatan pembangunan sekarang ini, terutama di
negara-negara dunia ketiga. Munculnya pendekatan pemberdayaan dalam teori
pembangunan modern merupakan akibat dari gagalnya pembangunan ala barat yang
mengandalkan pertumbuhan ekonomi dan bertumpu pada sektor industri dan padat
modal. Hal ini dinilai sangat kontradiksi dengan metode pembangunan di
negara-negara dunia ketiga yang mengandalkan sektor pertanian dan padat karya
serta meletakkan manusia sebagai subjek atau utama dalam pembangunan.
pendekatan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ala barat
dinilai telah mengakibatkan berbagai bentuk ketimpangan social dan menimbulkan
berbagai persoalan lain seperti timbulnya akumulasi nilai-nilai hedonistik,
ketidak pedulian sosial (individualistik), rusaknya ikatan kekeluargaan dan
kekerabatan.
Model-model
Kemitraan dalam Pemberdayaan Masyarakat
(Ambar
Teguh Sulistiyani, 2004:117)
1.
Pendekatan “CIPOO”
(Context-Input-Process- dan output-outcome)
Ambar Teguh dalam bukunya yang
berjudul “Kemitraan dan Modal-modal
Pemberdayaan Masyarakat” menemukan kerangka kerja konseptual yang kemudian
dikenal dengan pendekatan “CIPOO” (Context-Input-Process- dan output-outcome).
1)
Context
Yaitu konteks pemberdayaan agen
pembaharu menjelaskan program atau kegiatan yang sesuai untuk dikembangkan
dalam rangka pemberdayaan agen pembaharu.
2)
Input
Yaitu menggambarkan sumber daya,
fasilitas yang diperlukan dalam memperdayakan agen pembaharu.
3)
Process
Yaitu menggambarkan serangkaian langkah
ataua tindakan yang ditempuh untuk memperdayakan agen pembaharu.
4)
Output
Yaitu hasil akhir setelah serangkaian
proses pemberdayaan dilakukan akan mencapai kompetensi sebagai agen pembaharu
yang berdaya dan mampu implementasi pendampingan kepada masyarakat untuk
melakukan program aksi dari perencanaan, pelaksanaa, monitoring dan evaluasi program
pemberdayaan masyarakat miskin.
5)
Outcome
Yaitu nilai manfaat yang ditimbulkan
setelah agen pembaharu memiliki tingkat keberdayaan tertentu, sehingga agen
pembaharu mampu bertindak sebagai agen pembaharu dengan melakukan peran dalam
proses pemberdayaan masyarakat miskin, yaitu dengan tingkat peran linaer atau
berbanding lurus dengan tingkat keberdayaan yang sudah dimiliki tersebut.
BACA JUGA:
- CONTOH LAPORAN KKN: Laporan
Kuliah Kerja Nyata
- DEBT COLLECTOR DILARANG TARIK
KENDARAAN YANG ANGSURAN MACET
2.
Pendekatan
“KAP” (Knowledge, Attitude, Practice)
Pengetahuan (Knowledge), Sikap (Attitude),
dan Praktek (Practice). Faktor
perilaku ini tidak bisa diubah dalam waktu singkat, tetapi perlu pendekatan
konsep KAP (Knowledge, Attitude, Practice). Artinya masyarakat perlu diberi
pengetahuan (Knowledge) untuk mengubah sikap (Attitude), dan dengan berubahnya
sikap, akan mengubah perilaku (Practice) masyarakat ke arah yg lebih baik.
Faktor perilaku mempunyai pengaruh yang besar terhadap
individu maupun masyarakat.
Perilaku aktif dapatlah dilihat (overt) sedangkan perilaku pasif tidaklah tampak, seperti misalnya pengetahuan, persepsi, atau motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk perilaku. Misalnya:
Perilaku aktif dapatlah dilihat (overt) sedangkan perilaku pasif tidaklah tampak, seperti misalnya pengetahuan, persepsi, atau motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk perilaku. Misalnya:
Bloom membedakan antara:
1. Perilaku
kognitif (yang menyangkut kesadaran atau pengetahuan);
3. Psikomotor
(tindakan/gerakan).
Ki Hajar Dewantoro menyebutnya sebagai :
1. Cipta
(peri akal),
2. Rasa
(peri rasa) dan
3. Karsa
(peri tindak).
Secara
umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk berespons (secara
positif atau negatif) terhadap orang, obyek atau situasi tertentu.
Catatan Kritik
saya terhadap Pendekatan Empowering
Pendekatan Empowering atau
sering dipopuler dengan Pemberdayaan dalam hal ini memberikan daya atau kemampuan bukan memberi
kekuasaan, memang pendekatan yang sangat diandalkan oleh pemerintah modern
terutama negara-negara yang sedang berkembang dan tak luput juga Indonesia.
Pemerintah yakin bahwa dengan pilihan pendekatan pembangunan ini akan membawa
dampak positif untuk mengeluarkan negara ini dari krisis pembangunan yang
berlanjutan. Sebab, pendekatan ini dianggap sangat cocok dengan keadaan
penduduk Indonesia di pedesaan dan bermata pancaharian pertanian. Dan karena
itu, pendekatan pemberdayaan (empowering) mencoba memanfaatkan potensi lokal
yang ada di daerah.
Namun, terlepas dari optimisme
tersebut di atas, pendekatan ini tdak semulus yang diharapkan pemerintah saat
ini. Dengan fokusnya kepada pemberdayaan (memberi daya atau kemampuan) kepada
masyarakat desa sambil diikuti dengan suntikan modal kepada masyarakat,
seringkali pendekatan ini terbentur oleh berbagai masalah klasik yang timbul
karena “egoisme” pemerintah itu
sendiri.
Dengan demikian maka saya
mencoba membangun kritik terhadap
pendekatan ini berdasarkan apa yang terjadi selama ini.
BACA JUGA:
1)
Paradigma
Pemberdayaan terbentur dengan prinsip birokrasi yang Max Weber:
ü
Birokrasi tersentralisasi dan hirarkhis;
ü
Birokrasi yang dituntun oleh aturan;
ü
Birokrasi yang terstandarisasi dan impersonal;
ü
Birokrasi yang menggunakan proses-proses
administratif;
ü
Birokrasi yang memilih staf berdasarkan ujian bukan
kriteria subyektif; (David Osborn & Peter Plastrik, 2000)
ü
Birokrasi, masalah tentang sistem, proses dan
prosedur birokrasi publik, dan
ü
Masalah kelembagaan birokrasi (Miftah Toha,
1996).
2)
Implementasi
pendekatan ini tidak sejalan dengan
semangat atau misi utama yang dibawa oleh kata “empowering” itu sendiri.
Sebab ketika pendekatan ini diimplementasikan
di lapangan, pemerintah terlalu memanjakan masyarakat lokal dengan dana dan
dana, sehingga mindset (pola pikir) masyarakat selalu berorientasi pada dana
yang diberikan pemerintah. Dan lebih parahnya lagi, dana yang diberikan
pemerintah terkadang tanpa pengawasan dan evaluasi yang jelas, sekalipun ada
pengawasan dan evaluasi, seringkali hanya formalitas semata, dan sarat dengan
pencitraan. Sehingga dalam evaluasi itu, program pemerintah yang tidak berhasil
pun dikatankan berhasil. Ada kebohongan yang terjadi di sana, dan kebohongan
itu, tidak lain adalah untuk mengangkat citra pemerintah yang bersangkutan, karena
itu sekali kelak mereka akan disanjung sebagai pemrintah yang berhasil dalam membangun
daerahnya.
3) Pendekatan ini diimplemntasikan oleh birokrasi yang strukturalis dan kaku.
Akibatnya adalah bukan
kepentingan atau potensi masyarakat lokal yang dijadikan acuan dalam
pelaksanaannya tetapi keinginan pemerintah atau birokrasi lokal sehingga
terkesan semua yang dilaksanakan di lapangan, para birokrat mendikte masyarakat
untuk melakukan ini da itu sesuai dengan misi yang mereka bawa, padahal itu
misi itu tidak sesuai dengan potensi masyarakat lokal. Seakan masayarakat
dipaksakan untuk melakukan hal yang diluar kemampuan mereka. Timbul pertanyaan, mengapa itu bisa terjadi?
Jawabannya sederhana yaitu, pemerintah
takut program mereka dikatakan gagal dalam pandangan publik.
4) Pemerintah tidak inovatif. tidak kreatif, tidak responsif.
Pemerintah seringkali “mati gaya” dalam mengurus masyarakat, terutama masyarakat
pedesaaan. Pemerintah tidak punya jiwa inovatif dan kreatifitas dalam menyusun
program-program pemberdayaan masyarakat. Ini menjadi hambatan dalam pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat.
BACA JUGA:
- Defenisi Implementasi Kebijakan Publik
- Defenisi, Pengertian dan Ciri-ciri
Kemiskinan
- EFEKTIFITAS ORGANISASI DAN MANAJEMEN
MENURUT PENDEKATAN PENCAPAIAN TUJUAN
Hal ini sangat dibutuhkan sebab pemerintah mengahadapi:
ü Terbatasnya
ketersediaan sumberdaya manusia yang baik dan profesional;
ü Terbatasnya
ketersediaan sumber-sumber pembiayaan yang memadai, baik yang berasal dari kemampuan
desa itu sendiri (internal) maupun sumber dana dari luar (eksternal);
ü Belum
tersusunnya kelembagaan sosial-ekonomi yang mampu berperan secara efektif;
ü Belum
terbangunnya sistem dan regulasi yang jelas dan tegas;
ü Kurangnya
kreativitas dan partisipasi masyarakat secara lebih kritis dan rasional.
Saran Saya Terhadap Pendekatan Pemberdayaan sekarang ini
Bertolak dari kritik yang saya uraikan di atas, maka saya menyarankan beberapa hal
sebagai berikut agar mendukung pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam
mencapai cita-cita pembangunan yang merata di negeri ini.
a.
Program-program
pemberdayaan (empowering) perlu menerapkan
prinsip-prinsip birokrasi sebagai berikut:
ü Pemerintah yang katalik yang lebih
berfungsi sebagai fasilitator, bukan lagi sebagai implementator;
ü Pemerintah yang sinergik yang mampu
melihat kelemahan sendiri dan kebaikan pihak lain dan kemudian mengupayakan
perbaikan yang lebih kompreshensif dan produktif;
ü Pemerintah dari satu masyarakat yang
bertujuan untuk memberdayakan masyarakat bukan hanya untuk mengatur saja;
ü Pemerintah yang kompetitif yang mampu
meng-energized semangat dalam pelayanan publik;
ü Pemerintah yang lebih didorong oleh
misi yang jelas, bukannya sekedar birokrasi yang mendasarkan petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknis;
ü Pemerintah yang berorientasi kepada
pengaruh ketimbang mengutamakan kekuasaan saja;
ü Pemerintah yang lebih fleksibel dan
mengurangi kekakuan aturan.
b.
Mereformasi Birokrasi dan menerapkan Prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a. Reinventing Government
Reinventing
Government adalah “transformasi system dan organisasi pemerintah secara
fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas, efesiensi,
dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan
mengubah tujuan, system insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan dan
budaya system dan organisasi pemerintahan”.
Prinsip-prinsip
Reinventing Government :
ü Mengarahkan
Ketimbang Mengayuh (Steering Rather Than Rowing) Berfokus pada pengarahan,
bukan pada produksi pelayanan public.
-
Memisahkan fungsi ”mengarahkan” (kebijaksanaan dan
regulasi) dari fungsi ”mengayuh” (pemberian layanan dan compliance).
-
Peranan pemerintah lebih sebagai fasilitator dari pada
langsung melakukan semua kegiatan operasional;
ü Pemerintah
adalah Milik Masyarakat
-
Memberdayakan Ketimbang Melayani (Empowering raher
than Serving ).
-
Mendorong mekanisme control atas pelayanan lepas dari
birokrasi dan diserahkan kepada masyarakat;
-
Masyarakat dapat membangkitkan komitmen mereka yang
lebih kuat, perhatian lebih baik dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah;
-
Mengurangi ketergantungan masyarakat kepada
pemerintah. Dengan adanya prinsip ini, Pemerintah sebaiknya memberi wewenang
kepada masyarakat, sehingga menjadi masyarakat yang mampu menolong dirinya
sendiri (community self-help).
ü Pemerintah
yang kompetitif
-
Menyuntikkan persaingan dalam pemberian pelayanan
(Injecting Competition into service Delivery)
-
Pemberian jasa/layanan harus bersaing dalam usaha
berdasarkan kinerja dan harga
-
Persaingan adalah kekuatan yang fundamental yang tidak
memberikan pilihan lain yang harus dilakukan oleh organisasi public;
-
Pelayanan public yang dilaksanakan oleh Pemerintah
tidak bersifat monopoli tetapi harus bersaing
-
Masyarakat dapat memilih pelayanan yang disukainya. Oleh
sebab itu pelayanan sebaiknya mempunyai alternative. Kompetisi merupakan
satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas
pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan
kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
ü Pemerintah
Digerakkan oleh Misi : Mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan
(Transforming Rule-Driven Organizations) menjadi digerakkan oleh misi
(mission-driven).
-
Secara internal, dapat dimulai dengan mengeliminasi
peraturan internal dan secara radikal menyederhanakan system administrasi.
-
Perlu ditinjau kembali visi tentang apa yang harus
dilakukan oleh pemerintah
-
Misi pemerintah harus jelas dan peraturan perundangan
tidak boleh bertentangan dengan misi tersebut. Apa yang dapat dan tidak dapat
dilakukan oleh Pemerintah diatur dalam mandatnya. Tujuan Pemerintah bukan
mandatnya, tetapi misinya. Contoh: Cara penyusunan APBD. APBD memang harus
disusun berdasarkan suatu prosedur yang benar dan baku, tetapi pemenuhan
prosedur bukanlah tujuan. Tujuan APBD adalah meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya.
ü Pemerintah
yang berorientasi hasil: Membiayai hasil bukan masukan (Funding outcomes, Not
input). a.Berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif: membiayai hasil
dan bukan masukan. b.Mengembangkan standar kerja, yang mengukur seberapa baik
mampu memecahkan masalah. c.Semakin baik kinerja, semakin banyak dana yang
dialokasikan untuk mengganti dana yang dikeluarkan unit kerja.
ü Pemerintah
berorientasi pada pelanggan: Memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi
(Meeting the Needs of Customer, not be Bureaucracy)
-
Mengidentifikasi pelanggan yang sesungguhnya.
-
Pelayanan masyarakat harus berdasarkan pada kebutuhan
riil, dalam arti apa yang diminta masyarakat
-
Instansi pemerintah harus responsif terhadap perubahan
kebutuhan dan selera konsumen;
-
Perlu dilakukan penelitian untuk mendengarkan
pelanggan mereka,
-
Perlu penetapan standar pelayanan kepada pelanggan
-
Pemerintah perlu meredesain organisasi mereka untuk
memberikan nilai maksimum kepada para pelanggannya.
-
Menciptakan dual accountability (masyarakat dan
bisnis, serta DPRD dan pejabat).
ü Pemerintah
wirausaha
-
Menghasilkan ketimbang membelanjakan (Earning Rather
than Spending)
-
Pemerintah wirausaha memfokuskan energinya bukan hanya
membelanjakan uang (melakukan pengeluaran uang) melainkan memperolehnya.
-
Dapat diperoleh dari biaya yang dibayarkan pengguna
dan biaya dampaknya (impact fees); pendapatan atas investasinya dan dapat
menggunakan insentif seperti dana usaha (swadana)
-
Partisipasi pihak swasta perlu ditingkatkan sehingga
dapat meringankan beban pemerintah. Contoh pelaksanaan :
ü Pemerintah
antisipatif (anticipatory government)
-
Mencegah ketimbang Mengobati (Preventon Rather than
Cure)
-
Bersikap proaktif
-
Menggunakan perencanaan strategis untuk menciptakan
visi daerah.
-
Visi membantu meraih peluang tidak terduga, menghadapi
krisis tidak terduga, tanpa menunggu perintah.
ü Pemerintah
desentralisasi (decentralized government)
-
Dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja (From
Hierarchy to Participation and Teamwork) Dengan melihat beberapa tantangan dari
masyarakat, diantaranya :
(a)
Perkembangan teknologi sudah sangat maju.
(b)
Kebutuhan masyarakat dan bisnis semakin kompleks.
(c)
Staf banyak yang berpendidikan tinggi Maka pemerintah
perlu untuk
-
Menurunkan wewenang melalui organisasi, dengan
mendorong mereka yang berurusan langsung dengan pelanggan untuk lebih banyak
membuat keputusan (Pengambilan keputusan bergeser kepada masyarakat, asosiasi,
pelanggan, LSM.)
-
Tujuan : Untuk memudahkan partisipasi masyarakat,
serta terciptanya suasana kerja Tim.
-
Pejabat yang langsung berhubungan dengan masyarakat
(from-line workers) harus diberi kewenangan yang sesuai. Karena dengan
kewenangan yang diberikan akan memeungkikan terjadinya koordinasi “cross
functional” antar semua instansi yang terkait.
ü Pemerintah
berorientasi pada mekanisme pasar (market oriented government)
Mendongkrak perubahan melalui pasar
(Leveraging change throught the Market) Mengadakan perubahan dengan mekanisme
pasar ( sistem insentif ) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem
prosedur dan pemaksaan).
Ada dua cara alokasi sumberdaya,
yaitu mekanisme pasar dan mekanisme administratif. Mekanisme pasar terbukti
yang terbaik di dalam mengalokasi sumberdaya.
(a)
Pemerintah wirausaha menggunakan mekanisme pasar,
tidak memerintah dan mengawasi, tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem
insentif agar tidak merugikan masyarakat.
(b)
Lebih baik merekstrukturisasi pasar guna memecahkan
masalah daripada menggunakan mekanisme administrasi seperti pemberian layanan
atau regulasi, komando dan control;
(c)
Tidak semua pelayanan public harus dilakukan oleh
pemerintah sendiri.
(d)
Kebijaksanaan public harus dapat memanfaatkan
mekanisme pasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
(e)
Partisipasi pihak swasta perlu ditingkatkan.
BACA JUGA:
- Defenisi Implementasi Kebijakan Publik
- Defenisi, Pengertian dan Ciri-ciri Kemiskinan
- EFEKTIFITAS ORGANISASI DAN MANAJEMEN MENURUT PENDEKATAN PENCAPAIAN TUJUAN
BACA KUMPULAN MATERI KULIAH LAINNYA
b. Good Governance
Prinsip-prisp Good Governance
a. Partisipasi
Mendorong Setiap Warga Untuk
Mempergunakan Hak Dalam Menyampaikan Pendapat Dalam Proses Pengambilan
Keputusan, Yang Menyangkut Kepentingan Masyarakat Baik Secara Langsung Maupun
Tidak Langsung.
b.
Penegakkan Hukum
Mewujudkan Adanya Penegakkan Hukum Yang Adil Bagi
Semua Pihak Tanpa Pengecualian, Menjunjung Tinggi Ham Dan Memperhatikan
Nilai-Nilai Yang Hidup Dalam Masyarakat.
c.
Transparansi
Menciptakan Kepercayaan Timbal Balik Antara Pemerintah Dan Masyarakat
Melalui Penyediaan Informasi Dan Menjamin Kemudahan Di Dalam Memperoleh
Informasi Yang Akurat Dan Memadai
d.
Kesetaraan
Memberi Peluang Yang Sama Bagi Setiap Anggota Masyarakat Untuk Meningkatkan
Kesejahteraan-Nya.
e.
Daya Tanggap
Meningkatkan Kepekaan Para Penyelenggara Pemerintah Terhadap Aspirasi
Masyarakat Tanpa Terkecuali.
f.
Wawasan Ke Depan
Membangun Daerah Berdasarkan Visi Dan Strategi Yang Jelas Dan
Mengikutsertakan Warga Dalam Seluruh Proses Pembangunan, Sehingga Warga Merasa
Memiliki Dan Ikut Bertanggung Jawab Terhadap Kemajuan Daerahnya.
g.
Akuntabilitas
Meningkatkan Akuntabilitas Para Pengambil Keputusan Dalam Segala Bidang
Yang Menyangkut Kepentingan Masyarakat.
h.
Pengawasan
Meningkatkan Daya Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Pemerintah Dan
Pembangunan Dengan Mengusahakan Keterlibatan Swasta Dan Masyarakat Luas.
i.
Efisiensi Dan Efektifitas
Menjamin Terselenggaranya Pelayanan Kepada Masyarakat Dengan Menggunakan
Sumber Daya Yang Tersedia Secara Optimal Dan Bertanggung Jawab.
j.
Profesionalisme
Meningkatkan Kemampuan Dan Moral Penyelenggara Pemerintahan Agar Mampu Memberi
Pelayanan Yang Mudah, Cepat, Tepat Dengan Biaya Yang Terjangkau
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas,
maka kesimpulan akhirnya saya dapat membandingkan ketiga pendekatan
(Strukturalis, Humanis dan Empowering). Dimana
1)
Paradigma strukturalis
itu menekankan pada pembangunan ekonomi secara besar-besaran yang mentransformasikan
struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian
subsiten tradisional ke perekonomian yang lebih modern dan lebih berorientasi
ke kehidupan perkotaan.
2)
Paradigma humanis
adalah paradigma pembangunan yang lebih menekankan nilai-nilai kemanusiaan. Pendekatan humanis adalah
suatu proses pembangunan yang memberikan perhatian penuh terhadap persoalan peningkatan martabat kemanusiaan.
Implikasinya, pada persoalan etika, dan moralitas sebagai landasan dan tujuan pembangunan.
3)
Paradigma Empowering yang kemudian dikenal dengan pendekatan “Pemberdayaan” Pada intinya, lebih
terfokus pada masyarakat dan institusi lokal yang dibangun secara partisipatif.
Masyarakat menempati posisi utama yang memulai, mengelola dan menikmati
pembangunan. Negara adalah fasilitator dan membuka ruang yang kondusif bagi
tumbuhnya prakarsa, partisipasi dan institusi lokal.
Dengan demikian, saya membuat komparatif di antara
ketiga paradigma di atas. Yaitu Strukturalis
yang dalam hal ini saya sebut dengan pendekatan
lama dan empowering dan humnis yang saya sebut dengan pendekatan
baru. Seperti yang tampak dalam tabel berikut:
________________________________________
KONTRIBUTOR/PENULIS: Sdr. Elkana Goro Leba, MPA. Artikel ini disesuaikan dari berbagai sumber,
Mohon maaf bila ada kesalahan pengutipan atau informasi yang kurang tepat
karena "TIADA GADING YANG TIDAK RETAK". Terima kasih, karena sudah
mampir. Salam!
JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR DI BAWAH.
Daftar Pustaka
Jurnal
Ali, S.S., Apr.–June 2006, Kautilya And The Concept Of Good Governance The Indian, Jurnal Of Political Science
Vol. LFVII NO. 2
NANDA, VED P., JANUARY 2006, The "Good Governance" Concept Revisited, AANALS, AAPPSS, 603
Godbole, Madhav, March 13 2004, Good Governance: A Distant
Dream Economic And Political Weekly.
Mkandawire, Thandike, Agustus 2007, 'Good
Governance': The Itinerary of
an Idea Development In Practice, Volume 17, Number 4-5.
Lelah, Larry James, October 2005, Application
Of An Appreciative Inquiry And Work-Out, Intervention: The Influence On
Empowerment
Rashid,
Yahya, September 2013, Women Empowerment In The Corporate Sector Of
Pakistan: Interdisciplinary
Journal Of Contemporary Research In Business
Institute Of Interdisciplinary Business Research 518 Vol.
5, No. 5
Gandz, Jeffrey; Bird,
Frederick G, Apr 1996, The ethics of
empowerment; Journal of Business Ethics;; 15, 4; pg. 383
Darling, Michele, Jun/Jul
1996, Empowerment: Myth or reality?
Executive Speeches; 10, 6; ABI/INFORM Complete, pg. 23
Joiner, Therese A; Bartram, Timothy, Sep 30, 2004, How
Empowerment And Social Support Affect Australian Nurses' Work Stressors;
Australian Health Review; 28, 1; ABI/INFORM Complete, pg. 56
Buku
Teguh Sulistiyani, Ambar, 2004, Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan,
Yogyakarta: Gava Media
Hazen, Mary Ann, 1994, “A Radical Humanist Perspective Of Interorganizational
Relationships” Volume-47, New York : SAGE PUBLICATIONS, INC.
Budiman, Arief, 2000, Teori Pembangunan Dunia Ketiga,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Haq, Mahbub ul, 1995, Tirai Kemiskinan:
Tantangan-tantangan untuk Dunia Ketiga, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Habermas, J.,
1990, Ilmu dan teknologi sebagai
ideology, Jakarta: LP3ES.
Ritzer, G. dan
Goodman, DJ., 2003, Teori Sosiologi
Modern, Jakarta: Kencana
Ritzer, G., 2004, Sosiologi
Ilmu Pengetahuan Berparadgima Ganda
(edisi kelima), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Poloma,
MM., 2004, Sosiologi Kontemporer
(edisi keenam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sanderson, SK., 2003, Makro
Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (edisi kedua),
PT. Raja Grafindo Persada
Share makalah nya semoga bermanfaat
ReplyDelete