POLA HUBUNGAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM BIROKRASI
POLA HUBUNGAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM
BIROKRASI
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar belakang
Hubungan asimetri menghasilkan interaksi yang tidak
seimbang seperti halnya dominasi pria terhadap wanita. hubungan ini telah
terjadi dari generasi ke generasi yang menjadikan kekerasan baik fisik maupun
psikis menjadi hal yang biasa. studi feminisme menjadi gerakan kesadaran
terhadap kekerasan pada perempuan sebagai suatu tindakan kejahatan.
Dalam birokrasi yang terdapat kekuasaan menghasilkan
hubungan asimetri antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan perempuan
sering mendapatkan gangguan dan kekerasan. selain itu perempuan yang berniat
mempunyai karir yang lebih tinggi tidak akan terhambat dengan resistensi atau
tekanan dari laki-laki yang mendiminasi.
I.2. Rumusan masalah
Dengan mendasari diri
pada latar belakang sebagaimana diuraikan diatas, maka masalah yang ingin diteliti
adalah “sejauhmana pola hubungan yang
berperspektif gender dalam birokrasi itu sendiri”
I.3. Tujuan
Beberapa tujuan yang ingin dicapai adalah:
a.
Mempelajari
tentang persepsi dan pola hubungan laki-laki dan perempuan dalam birokrasi.
b.
Melihat sejauhmana kedalaman
dari gender baik secara teoritik maupu secara prakteknya dalam birokrasi.
c.
Mengasah
pemahaman mahasiswa dalam memahami pola hubungan laki-laki dan perempuan di
birokrasi.
BAB II
PEMBAHASAN
Feminisme dalam Birokrasi Pemerintahan
Feminisme sebagai suatu gerakan telah dipicu oleh
perjuangan anti kekerasan yang berkembang bersamaan dengan gerakan anti
otoritarianisme dan anti akselerasi persenjataan di barat sebagai akibat perang
dingin. Gerakan ini kemudian dipadukan dengan aktivitas akademik yang
mengkritisi konsep-konsep dalam ilmu sosial konvensional -positivistik. Ketika
muncul kesadaran akan adanya hubungan-hubungan asimetris berdasarkan jenis kelamin,
maka pemahaman studi perempuan dapat dilihat sebagai bidang kajian yang
berfokus pada perempuan dan historis.Karenanya studi tentang perempuan dapat
didefinisikan.
Pertama,
studi untuk memperoleh pemahaman tentang perkembangan hubungan -hubungan asimetris
berdasarkan jenis kelamin, ras, dan kelas dalam masyarakat. Kedua, studi
untuk mencari strategi yang dapat merubah situasi hubungan asimetris kepada
hubungan - hubungan yang lebih simetris.
Untuk mencapai target perubahan menuju yang lebih simetris,
studi perempuan membutuhkan langkah sistematik dan konkrit dalam suatu gerakan
( movement). Ratna Saptari (1992: 7) mengemukakan tiga pendekatan dalam
gerakan dan studi perempuan, yaitu
Pertama, feminisme radikal sebagai aliran yang
berpendapat bawah struktur masyarakat dilandaskan pada hubungan hierarkis
berdasarkan jenis kelamin, mengasumsikan bahwa laki -laki sebagai suatu
kategori social mendominasi perempuan sebagai kategori sosial lain. Kondisi ini
melahirkan suatu model konseptual yang menjelaskan berbagai bentuk penindasan.
Dengan kata lain, jenis kelamin menjadi faktor yang menentukan: posisi sosial,
pengalaman, kondisi fisik, psikologi, kepentingan, dan nilai-nilai seseorang,
sehingga muncul slogan the personal is political, dengan fokus pada konsep
utama Patriarki dan Seksualitas. kedua,
feminisme liberal yang berpandangan bahwa laki -laki dan perempuan mempunyai
hak yang sama dalam mengembangkan kemampuannya. Siapapun hanya bisa intervensi
dalam rangka menjamin terlaksananya hak yang azasinya. ketiga , feminisme sosialis yang mengkaitkan dominasi laki-laki
terhadap perempuan dengan proses kapitalisme. Berbagai bentuk patriarki dan pembagian
kerja secara seksual tidak dapat lepas dari model produksi dalam masyarakat (Denhardt
& Denhardt, 2003).
Sebagaimana tercermin dari periode -periode awal revolusi
industri dan kapitalisme yang membutuhkan tenaga kerja murah bagi pekerjaan
bertekonologi rendah. Metamorfosis kondisi ini terlestarikan hingga kini, dalam
bentuk kebutuhan tenaga kerja perempuan murah karena rendahnya lapangan kerja
dan posisi tawar buruh, sehingga memunculkan tenaga kerja tidak dibayar dalam
rumah tangga.
gender dan
Kekuasaan
Relasi jender dan seksual yang melahirkan kekerasan tidak
terlepas dari hubungan kekuasaan di antara pihak-pihak yang berelasi (Anonim,
2000). Kecenderungan kekuasaan untuk menormalisasi relasi, dengan menganggap
fenomena tertentu sebagai hal yang lumrah dan wajar telah mengakibatkan
“diterimanya” sebuah relasi asimetri oleh pihak yang dikuasai menjadi sebuah kewajaran.
Kewajaran semu ini terjadi di semua lini dan sektor, seperti ekonomi, ilmu pengetahuan,
dan seksual.
Foucault mengatakan bahwa kekuasaan bukan suatu institusi,
bukan struktur, dan bukan pula kekuatan yang dimiliki, tetapi nama yang
diberikan pada suatu situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat
(Haryatmoko, 2002). Di dalamnya terjadi proses institusionalisasi kekuasaan yang
melembaga dalam keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan -aturan
sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan.
Kekuasaan tidak lagi dalam wajah klasiknya sebagai sebuah kekerasan, represi,
atau manipulasi ideologi. Dalam setting ini maka kekerasan seringkali tidak
selalu dan tidak hanya yang kasatmata. Dibutuhkan kepekaan, kecerdasan, dan
kearifan untuk memberi penyadaran dan pengikisan hubungan kekuasaan asimetri
secara seksual, yang dalam banyak hal bermuara pada kasus-kasus kekerasan.
Kathleen Staudt dan Jane Jacquette dalam Women’s
Programs Bureacratic Resistance, and Feminist Organisation (Parsons,
2005: 263-4), mengatakan:
“...meskipun ada
kemajuan dalam undang-undang dan kebijakan progresif di tingkat nasional dan internasional,
tampak jelas ada pembelokan dalam redistribusi sumberdaya dan nilai diantara
pria dan wanita. Salah satu dari alasannya menurut mereka adalah resistensi
birokrasi untuk mendistribusi dan karena isu itu sendiri yang bermuatan
konflik: kemenangan nyata seringkali dihambat oleh keengganan, penghindaran,
dan distorsi dari pihak birokrasi... program untuk memperkuat integrasi ekonomi
perempuan dan meredistribusi peluang dan sumberdaya berdasarkan gender tampak
menjadi ancaman bagi pengambil keputusan birokratik yang dikuasai pria, ancaman
yang dapat dengan mudah diidentifikasi dan dilawan dengan banyak cara.”
Ironi yang tercermin dalam pendapat diatas menegaskan bahwa
di dalam birokrasi terdapat resistensi dari laki-laki terhadap pengembangan
karir perempuan dan di banyak aspek keperempuanan. Praktek-praktek yang berhulu
pada resistensi telah dilestarikan secara terus menerus di dalam dan oleh elit
di segala lini birokrasi, sehingga dalam batasan yang agak longgar dapat
dikategorikan sebagai kekerasan psikis, sebagaimana perluasan defenisi
kekerasan yang disepakati..
Gender dalam
Birokrasi
Gender sebagai sifat yang melekat pada laki -laki maupun
perempuan, dikonstruksi secara sosial dan kultural, membentuk relasi sosial
yang yang membedakan fungsi, peran dan tanggungjawab masing-masing jenis
kelamin. Dalam perkembangannya yang positif, keadilan gender terjadi ketika
kedua pihak bisa saling mendukung untuk mencapai suatu konsensus dan kondisi
kesetaraan (Stone, 1988). Tetapi yang lebih sering terjadi adalah kondisi ketidakadilan
yang dapat bersifat
1.
langsung,
yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung, baik disebabkan
perilaku/sikap, norma/nil \ai, maupun aturan yang berlaku
2.
tidak
langsung, seperti peraturan sama, tapi pelaksanaanya menguntungkan jenis kelamin
tertentu, dan
3.
sistemik,
yaitu ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, norma atau struktur masyarakat
yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan.
Praktek hubungan asimetri yang telah melembaga sekian puluh
tahun, kemudian memunculkan bentuk–bentuk yang lebih bervariatif.
Pertama,
marjinalisasi (peminggiran). Salah satu bentuk manifestasi ketidakadilan gender
adalah marginalisasi atau pemiskinan kaum perempuan. Peminggiran banyak terjadi
dalam birokrasi:
·
banyak
perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu bagus, baik dari segi
gaji, jaminan kerja ataupun status dari pekerjaan yang didapatkan. Hal ini
terjadi karena sangat sedikit perempuan yang mendapatkan peluang pendidikan.
Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh
negara yang bersumber keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah,
maupun asumsi -asumsi ilmu pengetahuan (teknologi).
·
Dengan
menganggap pekerjaan yang cocok bagi perempuan adalah pekerjaan yang merupakan perpanjangan dari pekerjaan domestik,
maka pekerjaan yang dikuasai perempuan
dinilai lebih rendah. Pada pekerjaan-pekerjaan yang juga membutuhkan keterampilan yang sama dengan laki-laki tetap
ada kecenderungan tingkat upah yang diterima perempuan lebih rendah.
·
Adanya
peraturan kepegawaian khusus bagi perempuan yang tidak dibolehkan bekerja pada shift malam hari, akan mengakibatkan
perusahaan untuk mempekerjakan karyawan perempuan sesedikit mungkin. Jadi peraturan ini menyebabkan
kesempatan perempuan untuk memperoleh
pekerjaan juga menjadi berkurang.
·
Perempuan
yang sudah berkeluarga di Indonesia
pada umumnya tetap dianggap perempuan
lajang ditempat kerjanya, artinya mereka tidak mendapat tunjangan keluarga.
Kedua,
subordinasi (penomorduaan). Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa
salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan
dengan jenis kelamin lainnya. Pandangan gender yang memandang perempuan lebih
emosional, lebih lemah daripada laki-laki, maka perempuan tidak mampu memimpin,
sehingga perempuan tidak perlu diberikan posisi/pekerjaan yang penting.
Beberapa bentuk subordinasi yang dialami oleh perempuan dalam birokrasi,
misalnya sebagai berikut:
·
memiliki
peluang yang rendah untuk memperoleh jabatan karir maupun jabatan politik
tertentu, dan jika karena kemampuannya perempuan mampu menempati posisi penting
sebagai pimpinan, bawahannya yang berjenis kelamin laki-laki seringkali merasa
tertekan. Menjadi bawahan seorang perempuan menyebabkan laki-laki merasa
“kurang laki-laki”
Ketiga
, stereotipe (citra buruk) yaitu pandangan buruk terhadap perempuan. Misalnya
perempuan yang pulang larut malam adalah pelacur, jalang dan berbagai sebutan
buruk lainnya sehingga terdapat aturan yang melarang perempuan shift malam
hari.
Keempat
, violence (kekerasan), yaitu serangan fisik dan psikis. Perempuan, pihak
paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait dengan marjinalisasi,
subordinasi maupun stereotip diatas. pelecehan seksual atau penindasan contoh kekerasan
paling banyak dialami perempuan.
Kelima , beban kerja berlebihan, yaitu tugas dan
tanggung jawab perempuan yang berat dan terus menerus. Misalnya, seorang
perempuan selain melayani suami (seks), hamil, melahirkan, menyusui, juga harus
menjaga rumah. Disamping itu, kadang ia juga ikut mencari nafkah (di rumah),
dimana hal tersebut tidak berarti menghilangkan tugas dan tanggung jawab
diatas.
Dalam pelaksanaan peran dan tanggungjawab yang telah
dikonstruksi oleh ketimpangan gender akan termanifestasikan dalam praktek kesehariannya,
baik kemasyarakatan maupun birokrasi pemerintahan dan pelayanan -pelayanan yang
diberikan.
Dalam birokrasi pemerintahan, fungsi internal (mulai dari
rekruitmen sampai dengan evaluasi kinerja) maupun fungsi eksternal dalam hal
pelayanan publik (dari individual, kolektif, dan komunal), masih diwarnai
relasi -relasi seksual dan gender. Birokrasi yang idealnya netral secara
politis dan sosial, disadari maupun tidak telah terjebak pada bias gender dan
bias jenis kelamin. Bias pandangan subordinatif pada jenis kelamin lain
mengakibatkan hubungan -hubungan asimetris yang termanifestasikan dalam bentuk
konkrit berupa kebijakan, program sampai keputusan yang diskriminatif seksual.
Dalam relasi subordinatif dan asimetris senantiasa
ditemukan relasi kekuasaan. persoalannya adalah sejauh mana kemampuan dan
kecerdasan kita menyikapi relasi tersebut secara demokratis, karena relasi kekuasaan
demokratis saat ini bukan lagi sekedar kekuasaan yang dijalankan oleh mayoritas,
tapi suatu proses diskusi dan adu pendapat terus menerus tanpa henti.
Sebuah konsensus harus segera diikuti dengan mendisain
konsensus baru, demikian terus menerus demokrasi modern dipahami. Dalam
birokrasi pemerintahan, kekuasaan yang berada dalam superioritas laki-laki (male
dominance), mengambil bentuk nyata dalam segala aspek kepemerintahan (governance).
Apabila hal tersebut dapat dianalogikan dengan konsep
akuntabilitas yang pernah dikemukakan oleh Pollit (1988) dimana seorang/satu
pihak harus melaporkan tindakan-tindakannya kepada pihak lain, maka dalam
hubungan kekuasaan tersebut selalu ada:
1.
pihak-pihak
yang harus bertanggungjawab
2.
pihak -pihak
yang mempunyai kewenangan
3.
ukuran-ukuran
yang dijadikan patokan penilaian, dan
4.
norma-norma
atau nilai-nilai yang dapat menjadi spirit moral dari sistem akuntabilitasnya.
BAB III
KESIMPULAN
Hubungan-hubungan asimetri dalam perbedaan dan diantara
jenis kelamin yang berbeda telah menimbulkan ketidakadilan, diskriminasi, dan
keberatan (ketidakrelaan/ ketidaksetujuan) pada pihak yang dirugikan. Kondisi
ini seringkali semakin parah ketika pihak yang lebih berkuasa melanggengkan dan
mempraktekannya dalam bentuk kekerasan baik fisik maupun psikis.
Dalam praktis birokrasi pelayanan, dari marjinalisasi
hingga kekerasan nyata dalam relasi jenis kelamin, yang terjadi di banyak lini
dan sektor pemerintahan serta politik. Termasuk di dalamnya adalah kekerasan dan
ketidakdilan terselubung yang mengambil bentuk pada sinisme dan diskriminasi
(syarat berlebihan yang tidak pasti) dalam pengembangan karir seorang
perempuan.
Sampai saat ini masih diperlukan pemahaman, penyadaran
baru, dan dialog terus menerus untuk mencapai sebuah konsensus baru yang
diterima kedua pihak, sehingga tercipta relasi yang lebih simetris diantaranya.