KEPEMIMPINAN DALAM SISTEM BIROKRASI
A. KEPEMIMPINAN
1. Pengertian Kepemimpinan
Dari akar kata
“pimpin” kita mengenal kata “pemimpin” dan “kepemimpinan”. Dalam Ensiklopedi
Umum, halaman 549 kata “kepemimpinan” ditafsirkan sebagai hubungan yang erat
antara seorang dan sekelompok manusia karena adanya kepentingan bersama;
hubungan itu ditandai oleh tingkah laku yang tertuju dan terbimbing dari manusia
yang seorang itu. Manusia atau orang ini biasanya disebut yang memimpin atau
pemimpin, sedangkan kelompok manusia yang mengikutinya disebut yang dipimpin.
Kepemimpinan juga dapat
didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi
aktivitas para anggota kelompok, untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang
untuk memberikan manfaat individu dan organisasi.
Berdasarkan definisi-definisi di
atas, maka kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Antara lain:
Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan
orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk
menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau
bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.
Kedua: seorang pemimpin yang efektif
adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or her power) mampu menggugah
pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan.
Ketiga: kepemimpinan harus memiliki
kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus
(compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan
keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain
(confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam
membangun organisasi.
Walaupun kepemimpinan
(leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep
tersebut berbeda. Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas
oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar
sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat
("managers are people who do things right and leaders are people who do
the right thing ").
Jadi filsafahnya
ibarat “Kepemimpinan memastikan tangga
yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen
mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin.”
BACA JUGA:
- 14 Prinsip Manajemen sebagai
Prinsip Administrasi Menurut Henry Fayol
- “Antara Desentralisasi dan
Resentralisasi” KONFLIK DALAM RANCANGAN REVISI UU OTONOMI DAERAH
- “PERKEMBANGAN AGAMA KRISTEN
PROTESTAN”
- ALAT BANTU DALAM ANALISIS
KEBIJAKAN PUBLIK
- ANALISIS KONFLIK GAM-RI
2. Model-Model Kepemimpinan Dalam Sistem Birokrasi
a) Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
Pada umumnya
studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak individu
yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan,
ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi terdapat
beberapa kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, antara
lain adalah kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi dan status.
b) Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership)
Model kepemimpinan
situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan dengan fokus utama
faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studistudi tentang
kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau
keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil
melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien.
Menurut pendekatan
kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau
pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang
mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang
mempengaruhi kinerja para pemimpin.
Hoy dan Miskel (1987),
misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja
pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the
organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate),
karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan
(subordinate characteristics).
Namun demikian model ini masih
dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan
kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi
tertentu.
c) Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model kajian
kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of
behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat
dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur
kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi (consideration).
Dimensi struktur
kelembagaan
menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin mendefinisikan dan menyusun
interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai
sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka.
Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi.
Dimensi
konsiderasi
menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan
bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan
emosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja
dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi
konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang
mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human
relations).
d) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
Studi kepemimpinan
jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak
pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau
model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan
tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan
perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi
atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja
pemimpin (Hoy and Miskel 1987).
Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi
kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan
pemimpin.
Ketiga faktor tersebut adalah:
1) Hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations)
Hubungan antara pemimpin dan
bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu
dipercaya dan disukai oleh
bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin.
2) Struktur tugas (the task structure)
Struktur tugas menjelaskan sampai
sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai
sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci
dan prosedur yang baku.
3) Kekuatan posisi (position power)
Kekuatan posisi menjelaskan sampai
sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena
posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti
penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga
menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya
dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat
(demotions).
BACA JUGA:
- Analisis SWOT (Strengths,
Weakness, Opportunity, Threats)
- Barang Publik dan
Eksternalitas
- BERKELIT DARI “KUTUKAN SUMBER
DAYA ALAM” UNTUK MERAIH HARAPAN
- BURUKNYA MANAJEMEN PELABUHAN
PENYEBARANGAN DI NTT MENJADI SARANG PUNGLI
- Celaka Karena Jalan Rusak?
Pengendara Bisa Gugat Pemerintah, Ini Undang-undangya
B. BIROKRASI
1. Pengertian Birokrasi
Secara epistemologis istilah birokrasi berasal dari bahasa Yunani
“Bureau”, yang artinya meja tulis atau tempat bekerjanya para pejabat.
Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan sebagai sarana
bagi pemerintah untuk melaksanakan pelayanan umum sesuai dengan permintaan
masyarakat.
Di dalam masyarakat modern, di mana begitu banyak urusan yang
terus-menerus dan cenderung tetap, hanya organisasi birokrasi yang mampu
menjawabnya. Dalam menjawab/melaksanakan urusan/tugas yang begitu banyak
tersebut, anggota-anggota organisasi birokrasi sangat berperan. Dalam beberapa
sebutan/istilah birokrasi sendiri diterjemahkan sebagai pemerintah yang
anggota-anggotanya disebut aparat birokrasi atau birokrat, bahkan Rianto
Nugroho D dalam buku “Kebijaksanaan Publik” menyebut “Birokrasi dalam praktek
dijabarkan sebagai Pegawai Negeri Sipil”.
2. Asas-Asas Umum Birokrasi Pemerintahan (Kepemimpinan) Yang Baik
Asas umum kepemimpinan yang baik
tidak berlaku secara universal di setiap negara karena adanya perbedaan budaya,
kebutuhan masyarakat yang selalu berubah, dan masalah yang dihadapi di setiap
negara berlain-lainan. Dalam konteks negara Indonesia,
sebagian besar rakyat Indonesia
sepakat bahwa pada pemerintahan Soekarno berhasil meletakkan dasar Nasionalisme
bagi bangsa Indonesia
tetapi gagal dalam merumuskan program-program pembangunan yang menyentuh rakyat
banyak. Pada masa orde baru rakyat mengalami kemakmuran dengan dilaksanakannya
pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional. Tetapi dalam kenyataannya bahwa
keberhasilan pembangunan ekonomi belum dirasakan merata oleh masyarakat dan
stabilitas telah memasung demokrasi/partisipasi rakyat, banyak pelanggaran hak
asasi manusia dan menutup akses keterbukaan.
Lepas dari hal tersebut di atas
sesungguhnya masih dapat ditemukan asas-asas pemerintahan yang baik antara lain
adalah sebagai berikut.
1.
Asas Kepastian Hukum, adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan
dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
2.
Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah asas yang menjadi
landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
Penyelenggara Negara.
3. Asas Kepentingan Umum, adalah
asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif dan
selektif.
4.
Asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, dan rahasia negara.
5.
Asas Proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
6.
Asas Profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas
Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BACA JUGA:
3. Tantangan Kepemimpinan Dalam Sistem Birokrasi
Secara mendasar, birokrasi Indonesia masih terkesan sulit untuk direformasi. Beberapa persoalan birokrasi antara lain,
Pertama, gaya kepemimpinan dan mentalitas mayoritas
aparat birokrasi (baik pusat atau daerah) belum berorientasi pada pelayanan
publik. Kondisi ini disebabkan masih kuatnya mentalitas aparat publik yang
lama, sementara aparat publik yang baru belum mampu mengubah budaya kerja di
unit kerjanya.
Kedua, pemerintah pusat terkesan
belum ikhlas memberikan keleluasaan pada birokrat di daerah dalam upaya memacu
perkembangan daerahnya. Pada kasus ini, pemerintah pusat selalu memonitor dan
mensupervisi setiap perda-perda di tingkat daerah.
Ketiga, birokrasi sering macet
karena berhadapan dengan benang kusut politik. Birokrasi tidak akan bisa
bekerja dalam situasi politik yang kurang kondusif. Dalam kondisi demikian,
banyak produk politik yang terasa aneh dan menjadikan birokrasi sebagai
“kambing hitam” dalam penyelenggaraan urusan publik.
Keempat, birokrasi kurang
berfungsi karena pernyataan visi dan misi yang tidak konsisten. Hal ini
diperparah dengan daerah yang kurang mampu membuat prioritas dalam
mengeksplorasi potensi daerah. Akibatnya birokrasi kurang terfokus dalam
memberikan pelayanan publik.
Kelima, kepemimpinan birokrat
yang lemah. Birokrasi di era reformasi cenderung lentur seiring dengan
demokratisasi dalam masyarakat. Dengan demikian gaya kepemimpinan tetap berperan di sini.
Kepemimpinan para birokrat kita selama ini masih menggunakan konsep lama, kurang
fleksibel. Akibatnya, mesin birokrasi juga kurang berfungsi dengan baik.
Keenam, birokrat di daerah masih berorientasi ke dalam (jago kandang) sehingga belum terbuka untuk bersaing dengan daerah lain melalui inovasi, sehingga memiliki nilai tambah. Problem birokrasi seperti ini akan menghambat kemajuan, baik di pusat atau di daerah. Persaingan dengan mengedepankan potensi yang dimiliki daerah menjadi pemicu dan pemacu bagi konstituen asing agar bersedia berinvestasi di daerahnya. Selama ini calon investor masih mengeluhkan regulasi dan birokrasi dalam hal perizinan yang dinilai amat merepotkan.
Keenam, birokrat di daerah masih berorientasi ke dalam (jago kandang) sehingga belum terbuka untuk bersaing dengan daerah lain melalui inovasi, sehingga memiliki nilai tambah. Problem birokrasi seperti ini akan menghambat kemajuan, baik di pusat atau di daerah. Persaingan dengan mengedepankan potensi yang dimiliki daerah menjadi pemicu dan pemacu bagi konstituen asing agar bersedia berinvestasi di daerahnya. Selama ini calon investor masih mengeluhkan regulasi dan birokrasi dalam hal perizinan yang dinilai amat merepotkan.
BACA JUGA:
4. Ciri-Ciri Pokok Birokrasi Menurut Max Weber
Konsep awal yang mendasari gagasan modern tentang birokrasi berasal
dari tulisan-tulisan Max Weber, seorang Sosiolog Jerman, yang mengetengahkan
ciri-ciri pokok dari birokrasi sebagai berikut:
1. Birokrasi melaksanakan kegiatan-kegiatan reguler dalam rangka mencapai tujuan
1. Birokrasi melaksanakan kegiatan-kegiatan reguler dalam rangka mencapai tujuan
organisasi. Dalam mencapai tujuan tersebut dilakukan pembagian tugas
dan tugas-tugas tersebut dilaksanakan oleh para ahli sesuai spesialisasinya.
2. Pengorganisasian
kantor berdasar prinsip hierarkhi. Dalam prinsip hierarkhi unit yang besar
membawahi dan membina beberapa unit kecil. Setiap unit kecil dipimpin oleh
seorang pejabat yang diberi hak, wewenang, dan pertanggungjawaban untuk
melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya.
3. Pelaksanaan
tugas diatur dengan suatu peraturan formal dan aturan tersebut mencakup tentang
keseragaman dalam melaksanakan tugas.
4. Pejabat yang
melaksanakan tugas-tugasnya dengan semangat pengabdian yang tinggi.
5. Pekerjaan
dalam organisasi birokratis didasarkan pada kompetensi teknis dan dilindungi
dari pemutusan kerja secara sepihak. Menganut suatu jenjang karier berdasar
senioritas dan prestasi kerja.
6. Pengalaman
menunjukkan bahwa tipe organisasi administratif yang murni berciri birokratis
dilihat dari sudut teknis akan mampu mencapai tingkat efisiensi yang tertinggi.
C. PERANAN KEPEMIMPINAN DALAM BIROKRASI
Faktor penting dalam
menentukan keberhasilan reformasi birokrasi adalah peran kepemimpinan
(leadership) bagi upaya perubahan, demikian Lembaga Administrasi Nasional
(LAN).
Kegagalan reformasi
birokrasi dalam pelaksanaannya lebih disebabkan oleh kurangnya komitmen,
konsistensi dan kredibilitas para pemimpinnya. Sejalan dengan reformasi
birokrasi, saat ini pemerintah telah banyak melakukan inisiatif untuk
mereformasi birokrasi khususnya perbaikan sistem dan budaya kerja, pengukuran
kinerja, penerapan disiplin, optimalisasi peningkatan pelayanan publik, upaya
mengurangi korupsi dan peningkatan produktifitas kerja dan renumerasi yang
memadai.
Namun demikian upaya-upaya
tersebut belum dapat mencapai hasil yang maksimal dan memuaskan masyarakat.
Sudah saatnya reformasi birokrasi
diarahkan untuk mengubah pola lama praktek kepemimpinan yang dilayani ke arah
kepemimpinan yang melayani.
Ada tiga aspek tipe kepemimpinan yang
melayani yakni "hati yang
melayani" atau kepemimpinan dimulai dari dalam diri sendiri. Lalu "kepala yang melayani"
atau seorang pemimpin sejati tidak cukup hanya memiliki hati atau karakter
semata tapi juga harus memiliki serangkaian metode kepemimpinan. Aspek ketiga
adalah "tangan yang
melayani" yakni pemimpin sejati bukan sekedar memperlihatkan
karakter dan integritas, serta kemampuan dalam metoda kepemimpinan, tetapi dia
harus menunjukkan perilaku atau kebiasaan pemimpin sejati yang selain fokus
pada duniawi juga fokus pada hal spritual. Artinya seorang pemimpin harus
berempati terhadap apa yang dirasakan bawahan atau rakyat secara luas.
Peranan Kepemimpinan dalam Mewujudkan Etika Birokrasi UntukMemperlancar Pelayanan Kepada Masyarakat
Pelayanan kepada masyarakat biasa disebut
pelayanan umum (publik). Pelayanan publik dapat dikelompokkan dalam Kelompok
Pelayanan Aministratif, Kelompok Pelayanan Barang, dan Kelompok Pelayanan Jasa.
Adapun contoh-contoh dalam setiap kelompok pelayanan adalah:
1. Kelompok Pelayanan Administratif
Contohnya: Pelayanan pengurusan akte kelahiran, akte perkawinan, akte kematian, sertifikat tanah, izin mendirikan bangunan, surat izin mengemudi, kenaikan gaji, kenaikan pangkat, pensiun pegawai, pensiun janda/duda, dan sebagainya.
2. Kelompok Pelayanan Barang
Contohnya: Pelayanan penyediaan kebutuhan bahan pokok, seperti bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan sebagainya.
3. Kelompok Pelayanan Jasa
Contohnya: Pelayanan pengangkutan penumpang, pengangkutan barang, kesehatan, pendidikan, perbankan, telepon, listrik, dan sebagainya.
Adapun contoh-contoh dalam setiap kelompok pelayanan adalah:
1. Kelompok Pelayanan Administratif
Contohnya: Pelayanan pengurusan akte kelahiran, akte perkawinan, akte kematian, sertifikat tanah, izin mendirikan bangunan, surat izin mengemudi, kenaikan gaji, kenaikan pangkat, pensiun pegawai, pensiun janda/duda, dan sebagainya.
2. Kelompok Pelayanan Barang
Contohnya: Pelayanan penyediaan kebutuhan bahan pokok, seperti bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan sebagainya.
3. Kelompok Pelayanan Jasa
Contohnya: Pelayanan pengangkutan penumpang, pengangkutan barang, kesehatan, pendidikan, perbankan, telepon, listrik, dan sebagainya.
Begitu banyaknya
ruang lingkup pelayanan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah dan
masyarakat pun menantikan pelayanan dari pemerintah yang merupakan haknya
sebagai warga negara. Namum sering kita melihat masyarakat dalam pengurusan hal
yang sederhana, misalnya pengurusan surat izin mengemudi, pelayanan kesehatan
bagi rakyat yang kurang beruntung, pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk
masih mengalami pelayanan yang kurang baik dengan alasan yang mengada-ada,
biaya yang melebihi dari tarif resmi, waktu penyelesaian yang relatif lama
karena pejabatnya tidak ada di tempat, dan sebagainya. Hal tersebut mencederai
makna diadakannya birokrasi, melanggar nilai-nilai dan norma-norma yang baik
dan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh aparat birokrasi.
Kesimpulan
Pelayanan publik yang baik dan masyarakat mendapatkan
kepuasan dari pelayanan tersebut merupakan kata kunci dan tantangan birokrasi.
Dewasa ini, birokrasi berhadapan dengan mekanisme pasar yang bersifat terbuka.
Fenomena ini merupakan tuntutan jaman dalam era persaingan bebas.
Setiap daerah perlu mencontoh reformasi birokrasi yang
dilakukan oleh daerah-daerah yang telah berhasil sehingga tidak perlu lagi
bicara tentang konsep reformasi birokrasi. Persoalannya tidak berada pada
konsep lagi, tetapi sudah pada tindakan riil untuk melakukan reformasi atau
tidak. Reformasi birokrasi harus tetap berorientasi kepada demokratisasi.
Birokrasi harus tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi lokal sehingga
birokrasi akan mengakar kuat. Seiring dengan itu, demokratisasi yang terus
berproses di tengah masyarakat harus menjadi orientasi birokrasi yang akan
dibentuk. Dengan demikian, birokrasi berjalan seiring dengan benih demokrasi di
daerah.
Dengan menguatnya demokrasi di daerah serta kemampuan dalam menjalankan birokrasi yang ada, maka pada level yang lebih besar akan menggerakkan birokrasi yang ada di pemerintah pusat. Bila ini terjadi dengan cepat, maka kewenangan pusat di daerah pun akan mengecil karena daerah telah menjalankan fungsi birokrasi dengan baik. Untuk mempercepat reformasi birokrasi dan kelihatan hasilnya, maka birokrasi harus bekerja dengan skala prioritas, ukuran yang jelas, serta mengikuti tahapan yang telah ditetapkan.
Dengan menguatnya demokrasi di daerah serta kemampuan dalam menjalankan birokrasi yang ada, maka pada level yang lebih besar akan menggerakkan birokrasi yang ada di pemerintah pusat. Bila ini terjadi dengan cepat, maka kewenangan pusat di daerah pun akan mengecil karena daerah telah menjalankan fungsi birokrasi dengan baik. Untuk mempercepat reformasi birokrasi dan kelihatan hasilnya, maka birokrasi harus bekerja dengan skala prioritas, ukuran yang jelas, serta mengikuti tahapan yang telah ditetapkan.
Proses transisi suatu negara ditentukan
oleh banyak faktor. Kepemimpinan, institusi publik, dan karakter organisasi
masyarakat adalah beberapa hal penting yang menentukan arah dan keberlangsungan
perubahan. Sepanjang waktu transisi berbagai faktor penting ini mempunyai arti
penting yang tidak sama. Elemen kepemimpinan, misalnya, merupakan merupakan
faktor yang paling menentukan pada awal perubahan.
________________________________________
KONTRIBUTOR/PENULIS: Sdr. Elkana Goro Leba, MPA. Artikel
ini disesuaikan dari berbagai sumber, Mohon maaf bila ada kesalahan
pengutipan atau informasi yang kurang tepat karena "TIADA GADING YANG
TIDAK RETAK". Terima kasih, karena sudah mampir. Salam!
JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR DI BAWAH.
________________________________________ JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR DI BAWAH.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete