ULASAN PP NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH
ULASAN PP NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH
Dengan
lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang ”Pemerintah Daerah” yang kemudian
direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004,
telah memberikan peluang yang besar kepada daerah-daerah untuk mengatur
penyelenggaraan pemerintahan sampai pada
level terendah tanpa mencederai konstitusi. Pemerintah daerah diberikan
kewenangan melalui asas desentralisasi untuk mengatur rumah tangganya sendiri
menurut potensi dan kearifan lokal masing-masing daerah, juga desa sebagai unit
pemerintahan terendah.
Berdasarkan
UU Nomor 32 Tahun 2004 daerah diberikan otonomi yang seluas-luasnya untuk
mengurus semua penyelenggaraan pemerintah diluar kewenangan pemerintah pusat
untuk membuat kebijakan daerah yang berhubungan dengan peningkatan pelayanan
dan pemberdayaan masyarakat, serta otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
Nyata artinya, melaksanakan apa yang menjadi urusannya berdasarkan kewenangan
yang diberikan dan karakteristik dari suatu wilayah sedangkan bertanggung jawab
adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus sejalan dengan maksud dan
tujuan pemberian otonomi yaitu memajukan daerah dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Undang-undang
tersebut di atas menunjukkan bahwa Otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Namun dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kepala daerah perlu dibantu
oleh perangkat daerah yang dapat menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan
yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah. Itu pula didasarkan pada Pasal 128
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, Susunan dan Pengendalian Organisasi Perangkat Daerah dilakukan dengan
berpedoman pada peraturan pemerintah. Perangkat daerah provinsi adalah unsur
pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri
dari secretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga teknis
daerah. Sementara Perangkat daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala
daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari secretariat
daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan
kelurahan. Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah ditetapkan dengan peraturan
daerah dengan berpedoman pada peraturan pemerintah ini. Pelaksanaan perangkat
daerah tersebut akan tetap berorientasi pada peraturan daerah yang mengatur
mengenai susunan, kedudukan, tugas pokok organisasi perangkat daerah. Rincian
tugas, fungsi, dan tata kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan peraturan gubernur/bupati/walikota.
Standarisasi ini
sendiri muncul karena beberapa alasan antara lain sebagai berikut.
ketidaksesuaikan nomenklatur lembaga daerah dengan lembaga pusat yang selama
ini sering mengakibatkan kesulitan proses penganggaran dan berujung pada
inefisiensi penyelenggaraan pemerintahan di daerah Struktur organisasi
pemerintah daerah di Indonesia yang cenderung sangat gemuk sehingga berpotensi
menghisap sebagian besar alokasi APBD untuk belanja aparatur dan bukan untuk
pos-pos kegiatan lainnya yang lebih produktif bagi kepentingan masyarakat.
Namun demikian pada praktiknya, PP 41/2007 juga telah menciptakan berbagai
kerumitan mengiringi konsekuensi besar yang menyertainya. Berbagai standarisasi
yang dirumuskan dalam regulasi ini pada akhirnya cenderung terlihat sebagai
manifestasi kepentingan pusat untuk melakukan resentralisasi pemerintahan
ketimbang penataan kelembagaan untuk efektivitas pemerintahan daerah.
Perangkat daerah yang dimaksud antara
lain adalah Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretaris daerah. Sekretaris
daerah berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur dan
mempunyai tugas dan kewajiban membantu gubernur dalam menyusun kebijakan dan
mengoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Seperti penyusunan
kebijakan pemerintahan daerah, pengoordinasian pelaksanaan tugas dinas daerah
dan lembaga teknis daerah, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan
pemerintahan daerah, pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan daerah
dan pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan
fungsinya. Sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah yang selanjutnya disebut
sekretariat DPRD merupakan unsur pelayanan terhadap DPRD dipimpin oleh
sekretaris dewan. Sekretaris dewan secara teknis operasional berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD dan secara administratif bertanggung
jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah Sekretariat DPRD mempunyai
tugas menyelenggarakan administrasi kesekretariatan, administrasi keuangan,
mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD, dan menyediakan serta
mengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD sesuai dengan kemampuan
keuangan daerah yang antara lain adalah penyelenggaraan administrasi
kesekretariatan DPRD, penyelenggaraan administrasi keuangan DPRD, penyelenggaraan rapat–rapat DPRD; dan
penyediaan dan pengoordinasian tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD.
Inspektorat merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
dipimpin oleh inspektur. Inspektur dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
bertanggung jawab langsung kepada gubernur dan secara teknis administrative
mendapat pembinaan dari sekretaris daerah. Inspektorat mempunyai tugas
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah
provinsi, pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah
kabupaten/kota dan pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota.
Inspektorat dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menyelenggarakan fungsi perencanaan program pengawasan, perumusan kebijakan dan
fasilitasi pengawasan, pemeriksaan, pengusutan, pengujian, dan penilaian tugas
pengawasan. Badan perencanaan pembangunan daerah merupakan unsur perencana
penyelenggaraan pemerintahan daerah dipimpin oleh kepala badan. Kepala badan
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris
daerah. Badan perencanaan pembangunan daerah dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan fungsi seperti perumusan
kebijakan teknis perencanaan, pengoordinasian penyusunan perencanaan
pembangunan, pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang perencanaan pembangunan
daerah dan pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan
tugas dan fungsinya. Dan Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah
yang dipimpin oleh kepala dinas. Dinas daerah mempunyai tugas melaksanakan
urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dinas
daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menyelenggarakan fungsi perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup
tugasnya. Kepala dinas berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
gubernur melalui sekretaris daerah. Pada dinas daerah dapat dibentuk unit
pelaksana teknis dinas untuk melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional
dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau
beberapa daerah kabupaten/kota. Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung
tugas kepala daerah. Lembaga teknis daerah mempunyai tugas melaksanakan
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik. Lembaga
teknis daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menyelenggarakan fungsi perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup
tugasnya, pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai
dengan lingkup tugasnya. Pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup
tugasnya dan pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan
tugas dan fungsinya. Lembaga teknis daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat berbentuk badan, kantor, dan rumah sakit. Lembaga teknis daerah yang
berbentuk badan dipimpin oleh kepala badan, yang berbentuk kantor dipimpin oleh
kepala kantor, dan yang berbentuk rumah sakit dipimpin oleh direktur. Kepala
dan direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah. Pada badan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dibentuk unit pelaksana teknis
tertentu untuk melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis
penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa daerah
kabupaten/kota.
Dengan demikian, PP ini pada hakekatnya
mengkhendaki adanya penciptaan perangkat daerah yang efisien dan efektif yang
benar-benar sesuai dengan kebutuhan daerah namun disisi lain ada pula kelemahan
yang perlu diperhatikan. Kesalahan besar dari desain penataan kelembagaan di
daerah melalui PP 41/2007 adalah karena PP ini lebih melihat persoalan kelembagaan
semata-mata sebagai persoalan struktur kelembagaan. Standarisasi yang ketat yang
dibuat oleh PP ini tidak mempertimbangkan dimensi lain dari kelembagaan daerah
seperti aparatur, system tata laksana, dan nilai dasar organisasi. Hal ini terlihat
dari esensi kebijakan yang lebih menekankan pada tiga hal penyeragaman nomenklatur
kelembagaan daerah, penentuan jumlah kelembagaan daerah yang berbasis pada
hasil perhitungan atas variable jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah APBD,
dan perumpunan kelembagaan daerah, meskipun juga menentukan beberapa perubahan
lain seperti perubahan eselonisasi pejabat daerah dan lain sebagainya. Berbagai
ketentuan di atas pada gilirannya menimbulkan konsekuensi besar bagi kelembagaan
daerah. Dari sekian dinas dan lembaga teknis daerah yang sesuai dengan
perumpunan, banyak di antaranya juga tidak akan menjadi utuh melainkan harus mengalami
restrukturisasi dalam bentuk perubahan bentuk lembaga dinas menjadi badan/kantor
atau sebaliknya, pemecahan instansi, peleburan, maupun pembentukan instansi-instansi
baru. Sejalan dengan itu, permendagri yang diterbitkan untuk memberikan pedoman
bagi daerah, yaitu Permendari 57/2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan
Organisasi Perangkat Daerah, juga semakin menegaskan standarisasi yang
diinginkan oleh pemerintah pusat. Hal ini terlihat pada beberapa ketentuan Permendari
yang secara kaku juga melakukan standarisasi pada struktur dan nomenklatur
Sekretariat Daerah disamping juga menentukan jumlah dan jenis perangkat daerah
yang wajib ada di daerah.
Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa kebijakan penataan
kelembagaan daerah melalui PP 41/2007 akan membawa implikasi serius terhadap
banyak hal. Ditambah dengan waktu transisi yang sangat pendek, kebijakan ini
tidak saja akan mengakibatkan kerumitan proses pengalihan kewenangan/urusan
yang selama ini telah berjalan, tetapi juga kerumitan dalam redistribusi atau
penempatan kembali pegawai ke pos-pos baru yang terbukti rentan menjadi sumber
ketidakefektivan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu, pada level implementasi, PP
41/2007 yang amat sarat dengan standarisasi ini sangat mungkin justru akan menciptakan
kesulitan-kesulitan baru bagi daerah khususnya ketika persoalan yang dihadapi
oleh daerah justru tidak bersumber pada format kelembagaanya menunjukkan bahwa
distribusi tugas pokok dan fungsi pada instansi-instansi daerah sebenarnya
telah relatif terdefinisi dengan baik. Persoalan yang dihadapi justru bersumber
pada hal-hal lain seperti ketimpangan antara visi politik kepala daerah dengan
kecepatan respons birokrasi myang tidak terkomunikasikan dengan baik, kapasitas
sumberdaya aparatur yang tidak merata distribusi aparatur yang menyalahi prinsip
kompetensi sebagai implikasi dari pendeknya masa transisi dan proses Analisis Jabatan
yang tidak maksimal; lemahnya mekanisme hubungan antar instansi sebagai akibat
dari pola relasi antar lembaga daerah
yang eksklusif sehingga menyulitkan kebutuhan koordinasi; dan
lemahnya komunikasi serta ketiadaan lembaga yang berperan sebagai fasilitator
dalam penyediaan data sehingga memunculkan serangkaian kesulitan teknis yang
berujung pada ketidakefektivan performa Pemerintah kota.
Dari sisi kebijakan, berbagai persoalan
di atas setidaknya perlu dicermati sebagai indikasi dari ketidakefektivan
penyelenggaraan pemerintahan dan kualitas pelayanan publik di daerah sebagai
akibat dari kebijakan reorganisasi atau penataan ulang kelembagaan daerah oleh
pusat. Karena itu, beberapa langkah berikut ini mungkin perlu dilakukan untuk
menghindari akibat yang lebih luas. Pertama,
monitoring dan evaluasi implementasi PP 41/2007 dan Permendagri 57/2007 di
daerah perlu dilakukan untuk membaca lebih dalam tentang potensi permasalah di
daerah berkaitan dengan kebijakan ini. Dalam aktivitas ini, secara proporsional,pemerintah
pusat perlu menjaring informasi di daerah guna mengetahui tingkat fisibilitas
penerapan regulasi ini sebagai regulasi penataan kelembagaan daerah. Hal ini
penting mengingat perintah untuk mengubah kelembagaan dalam rentang waktu sangat
pendek (1 tahun) tentu akan membuat sebagian besar
daerah tergesa-gesa melakukan perubahan tanpa mempertimbangkan akibatnya bagi
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan kualitas pelayanan publik di
daerah. Kedua, pengkajian ulang
terhadap beberapa ketentuan di PP 41/2007 dan Permendagri 57/2007 juga perlu
dilakukan khususnya menyangkut beberapa butir kebijakan seperti: penetuan
jumlah SKPD yang hanya didasarkan pada perhitungan kuantitatif (jumlah
penduduk, luas wilayah, dan APBD) kebijakan perumpunan lembaga daerah dan
penentuan jenis-jenis perangkat daerah yang wajib ada; serta peninjauan ulang
tentang masa transisi penataan kelembagaan. Pengkajian ulang ini khususnya
dilakukan untuk daerah-daerah lama (bukan daerah baru hasil pemekaran) dengan
asumsi bahwa pada daerah-daerah ini format kelembagaan telah relatif mapan, dan
karena itulah kerumitan dan potensi ketidakefektivan mungkin terjadi sebagai
akibat dari penerapan PP baru ini.
Oleh sebab itu,
bila ingin terjadi penyeragaman pada perangkat daerah seperti yang diinstruksikan
oleh PP tersebut perlu pengkajian mendalam mengenai konsekuensinya sebab akan
terjadi mutasi besar-besaran bila terjadi penggabungan antara organisasi perangkat
daerah yang sudah terlanjur membentuk organisasi sesuai dengan kebutuhannya. Dengan
demikian maka akan tercipta organisasi perangkat daerah yang miskin struktur
dan kaya fungsi dan bukan sebaliknya yang miskin fungsi dan kaya struktur
sehingga tercapai keefisiensi dan keefektivitas pada penganggaran.
________________________________________
KONTRIBUTOR/PENULIS: Sdr. Elkana Goro Leba, MPA. Artikel
ini disesuaikan dari berbagai sumber, Mohon maaf bila ada kesalahan
pengutipan atau informasi yang kurang tepat karena "TIADA GADING YANG
TIDAK RETAK". Terima kasih, karena sudah mampir. Salam!
JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR DI BAWAH.
________________________________________ JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR DI BAWAH.