SISTEM KEPARTAIAN
BAB II
PEMBAHASAN
SISTEM KEPARTAIAN
2.1. Defenisi Partai
Politik (Parpol)
Partai Politik (Parpol) adalah salah satu komponen yang sangat
penting di dalam dinamika perpolitikan suatu bangsa. Parpol dipandang sebagai
cara seseorang atau sekelompak individu untuk meraih kekuasaan.
Parpol
dapat diartikan sebagai sekumpulan orang yang secara terorganisir untuk
membentuk sebuah lembaga yang bertujuan untuk merebut kekuasaan politik secara
untuk dapat menjalankan program-programnya.
Menurut Roger F. Saltou, Partai Politik Parpol) dapat diartikan
sebagai sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisasi, yang
bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaan untuk memilih bertujuan untuk menguasai
pemilih dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat. Dengan demikian, maka
partai politik merupakan hasil pengorganisasian dari sekelompok agar memperoleh
kekuasaan untuk menjalankan program yang telah dirumuskan atau direncanakan.
2.2. Sejarah Singkat Lahirnya Partai Politik
Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat
bersamaan dengan gagasan bahwa rakyat merupakan fakta yang menentukan dalam
proses politik. Dalam hal ini partai politik berperan sebagai penghubung antara
rakyat di satu pihak dan pemerintah di lain pihak. Maka dalam perkembangannya
kemudian partai politik dianggap sebagai menifestasi dari suatu sistem politik
yang demokratis, yang mewakili aspirasi rakyat. Pada permulaannya peranan
partai politik di negara-negara Barat bersifat elitis dan aristokratis, dalam
arti terutama mempertahankan kepentingan golongan bangsawan terhadap tuntutan
raja, namun dalam perkembangannya kemudian peranan tersebut meluas dan
berkembang ke segenap lapisan masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan oleh
perlunya dukungan yang menyebar dan merata dari semua golongan masyarakat.
Dengan demikian terjadi pergeseran dari peranan yang bersifat elitis ke peranan
yang meluas dan populis.
Perkembangan selanjutnya adalah dari Barat, partai politik
mempengaruhi dan berkembang di negara-negara baru, yaitu di Asia
dan Afrika. Partai politik di negara-negara jajahan sering berperan sebagai
pemersatu aspirasi rakyat dan penggerak ke arah persatuan nasional yang
bertujuan mencapai kemerdekaan. Hal ini terjadi di Indonesia
(waktu itu masih Hindia Belanda) serta India. Dan dalam perkembanganya
akhir-akhir ini partai politik umumnya diterima sebagai suatu lembaga penting
terutama di negara-negara yang berdasarkan demokrasi konstitusional, yaitu
sebagai kelengkapan sistem demokrasi suatu negara.
2.3. Fungsi Partai Politik
Pada umumnya partai politik merupakan sarana untuk memperoleh
kekuasaan. Namun untuk lebih spesifik dapat dirumuskan beberapa fungsi partai
politik sebagai berikut:
1)
Melakukan sosialisasi politik, pembentukan sikap dan orientasi
politik para anggota masyarakat.
2)
Rekruitmen politik. Artinya seleksi atau pemilihan untuk
pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah
perencanaan dalam sistem politik.
3)
Partisipasi politik. Artinya, dalam mempengaruhi proses pembuatan
atau pelaksanaan kebijakan umum untuk ikut menentukan pemimpin pemerintahan.
4)
Pemandu kepentingan. Yakni mengatur lalu lintas kepentingan yang
seringkali bertentangan dan memmiliki orientasi keuntungan sebanyak-banyaknya.
5)
Komunikasi partai. Yaitu, partai politik melaksanakan proses
penyampaian informasi mengenai politik pemerintah kepada masyarakat dan dari
masyarakat kepada pemerintah.
6)
Pengendalian konflik.
Partai politik melakukan pengendalian monflik mulai dari perbedaan
pendapat hingga pada pertikaian fisik antar individu atau kelompok.
7)
Kontrol politik. Artinya, partai politik melakukan kegiatan untuk
menunjukkan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi kebijakan atau
pelaksanaan kebijakan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang.
2.4. Sistem Partai Politik
Maurice
Duverger membagi sistem partai politik mejadi tiga sistem utama, yakni:
1)
Sistem partai tunggal
Sistem
ini berlaku dalam lingkungan politik di negara-negara komunis seperti China,
dan Unisoviet.
2)
Sistem dua partai
Dianut
oleh sebagian negara yang menggunakan paham liberal. Pemilihan di negara-negara
tersebut menggunakan sistem distrik. Negara yang menganut sistem ini U.S.A dan
Inggris.
3)
Sistem multipartai
Sisten
ini dianut oleh negara seperti Belanda, Prancis termasuk Indonesia.
2.5. Tujuan Partai Politik
Berdasarkan
basis sosial, tujuan partai politik dibagi dalam empat tipe, yaitu:
1)
Partai politik berdasarkan lapisan masyarakat
Yaitu
lapisan bawah, menengah dan atas.
2)
Partai politik berdasarkan kepentingan tertentu
Yaitu
patani, buruh dan pengusaha.
3)
Partai politik berdasarkan pemeluk agama
4)
Partai politik berdasarkan kelompok budaya
2.6. Sejarah Perkembangan Partai Politik di Indonesia
Perkembangan
demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut, sejak Indonesia merdeka
sampai dengan sekarang, masyarakat Indonesia yang beragam pola budayanya, telah
menempuh pelajaran yang cukup panjang dalam kehidupan kemasyarakatan dan
kenegaraan. Perjalanan dari kebebasan berserikat dan berkumpul bagi
partai-partai politik yang ada di Indonesia juga mengalami pasang
surut. Sejarah telah membuktikan, bahwa partai-partai politik mempunyai peranan
yang sangat penting dan berarti bagi perjuangan kemerdekaan, pengisian
kemerdekaan dan bagi pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia.
Tradisi
berpartai di Indonesia sebenarnya tidak dikenal dalam kamus kebudayaan
Indonesia, dimana tradisi berpartai ini merupakan hasil suntikan dari kaum
penjajah sendiri, yang membawa benih itu dari bumi Eropa. Pada masa Demokrasi
Parlementer (1945-1959), pemerintah melalui Wakil Presiden Moh. Hatta, pada
tanggal 3 November 1945 mengeluarkan maklumat perintah tentang pendirian
partai-partai politik. Maklumat ini dikeluarkan atas desakan badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), untuk mendirikan sebanyak-banyaknya
partai
politik.
Keluarnya maklumat
tersebut memang sudah wajar, karena UUD 1945 sendiri telah mengakui perjuangan
dari organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan (termasuk partai-partai
politik). Setiap kelompok dalam masyarakat Indonesia berlomba-lomba mendirikan
partai-partai politik. Kehidupan prtai politik ini telah memberi angin segar
bagi tumbuh seburnya demokrasi Liberal ditahun 1950-an. Bila dilihat pada
periode Demokrasi Parlementer sebenarnya hampir sama dengan masa sekarang ini yaitu,
zaman Reformasi. Dimana pada zaman reformasi ini banyak sekali partai-partai
yang mewarnai demokrasi di Indonesia.
Dengan disahkannya tiga Buah undang-undang di bidang politik, khususnya UU No.
3 tahun 1999, bermuncullah partai-partai politik baru. Menjamurnya
partai-partai tersebut didasarkan pada pemikiran mengenai partisipasi politik,
melalui partai politik. Dimana rakyat berhak ikut serta dalam menentukan
seseorang yang akan menjadi pemimpin mereka. Rakyat berhak pula menentukan isi
kebijakan umum yang akan mempengaruhi kehidupan mereka.
Perkembangan partai politik di Indonesia dapat digolongkan dalam
beberapa periode perkembangan, dengan setiap kurun waktu mempunyai ciri dan
tujuan masing-masing, yaitu Masa
penjajahan Belanda, Masa pedudukan Jepang dan masa merdeka.
a. Masa penjajahan
Belanda.
Masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik
di Indoneisa (waktu itu Hindia Belanda). Lahirnya partai menandai adanya
kesadaran nasional. Pada masa itu semua organisasi baik yang bertujuan sosial
seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah, ataupun yang berazaskan politik agama dan
sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan Partai Katolik, ikut memainkan peranan
dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka. Kehadiran partai politik
pada masa permulaan merupakan menifestasi kesadaran nasinal untuk mencapai
kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
Setelah didirikan Dewan Rakyat , gerakan ini oleh beberapa partai diteruskan di
dalam badan ini.
Pada tahun 1939 terdapat beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat,
yaitu Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. Husni Thamin, PPBB (Perhimpunan
Pegawai Bestuur Bumi Putera) di bawah pimpinan Prawoto dan Indonesische
Nationale Groep di bawah pimpinan Muhammad Yamin. Di luar dewan rakyat ada
usaha untuk mengadakan gabungan partai politik dan menjadikannya semacam dewan
perwakilan rakyat. Pada tahun 1939 dibentuk KRI (Komite Rakyat Indoneisa) yang
terdiri dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang merupakan gabungan dari
partai-partai yang beraliran nasional, MIAI (Majelis Islamil AĆ¢€laa Indonesia) yang merupakan gabungan
partai-partai yang beraliran Islam yang terbentuk tahun 1937, dan MRI (Majelis
Rakyat Indonesia) yang merupakan gabungan organisasi buruh.
b. Masa Pendudukan Jepang.
Pada
masa ini, semua kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam diberi
kebebasan untuk membentuk partai Masyumi, yang lebih banyak bergerak di bidang
sosial.
c. Masa Merdeka (mulai
1945).
Beberapa bulan setelah proklamsi kemerdekaan, terbuka kesempatan
yang besar untuk mendirikan partai politik, sehingga bermunculanlah
parti-partai politik Indonesia.
Dengan demikian kita kembali kepada pola sistem banyak partai. Pemilu 1955
memunculkan 4 partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan PKI. Masa
tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik,
karena partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara melalui sistem parlementer. Sistem banyak partai ternyata tidak dapat
berjalan baik. Partai politik tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik,
sehingga kabinet jatuh bangun dan tidak dapat melaksanakan program kerjanya.
Sebagai akibatnya pembangunan tidak dapat berjaan dengan baik pula.
Masa demokrasi parlementer diakhiri dengan Dekrit 5 Juli 1959,
yang mewakili masa masa demokrasi terpimpin. Pada masa demokrasi terpimpin ini
peranan partai politik mulai dikurangi, sedangkan di pihak lain, peranan
presiden sangat kuat. Partai politik pada saat ini dikenal dengan NASAKOM
(Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan PKI. Pada masa
Demokrasi Terpimpin ini nampak sekali bahwa PKI memainkan peranan bertambah
kuat, terutama melalui G30 S/PKI akhir September 1965). Setelah itu Indonesia
memasuki masa Orde Baru dan partai-partai dapat bergerak lebih leluasa
dibanding dengan msa Demokrasi terpimpin. Suatu catatan pada masa ini adalah
munculnya organisasi kekuatan politik baru yaitu Golongan Karya (Golkar). Pada
pemilihan umum tahun 1971, Golkar muncul sebagai pemenang partai diikuti oleh 3
partai politik besar yaitu NU, Parmusi (Persatuan Muslim Indonesia) serta PNI.
Pada tahun 1973 terjadi penyederhanaan partai melalui fusi partai
politik. Empat partai politik Islam, yaitu : NU, Parmusi, Partai Sarikat Islam
dan Pertai bergabung menjadi Partai Persatu Pembangunan (PPP). Lima
partai lain yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, Parati Katolik, Partai Murba
dan Partai IPKI (ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia)
bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Maka pada tahun 1977
hanya terdapat 3 organisasi kekuatan politik Indonesia dan terus berlangsung
hinga pada pemilu 1997. Setelah gelombang reformasi terjadi di Indonesia yang ditandai dengan tumbangnya rezim
Suharto, maka pemilu dengan sistem multi partai kembali terjadi di Indonesia.
Dan terus berlanjut hingga sekarang dalam setiap pemilihan umum.
d. Masa Reformasi
Alam reformasi
memang memberikan sebuah ruang publik yang luas dan terbuka bagi setiap anggota
masyarakat Indonesia
dalam mengekspresikan aspirasi politiknya. Inilah yang menjadi salah satu
kebanggaan Indonesia
pada saat ini yang tengah menikmati alam demokrasi, sebuah iklim sosial politik
yang tenggelam dalam jangka waktu 32 tahunan lamanya. Dalam catatan Indonesia, khususnya sejarah Orde Baru dan Orde
Reformasi, memberikan keterangan tentang ketidakberlanjutan sejarah Indonesia.
Hal ini terbukti dari, pertama, adanya perubahan tatanan nilai antara Orde Baru
dan Orde Reformasi. Sesuatu hal yang dianggap baik dimasa orde baru, tidak
selamanya menjadi baik di era reformasi. Misalnya saja penggunaan azas
organisasi. Kedua, perubahan system sosial, solidaritas sosial anggota
masyarakat yang semu di zaman orde baru (khususnya karena adanya sikap retresif
dari penguasa) menjadi sebuah tatanan sosial yang demokratis (liberal).
Banyaknya
partai-partai yang bermunculan di era-reformasi ini, memang memberikan pada
bangsa ini tentang Pemilu dengan Multipartai tetapi harus diingat, pertama,
partai politik yang besar dan tersaring dalam Pemilu ternyata tidak lebih dari
10 partai. Tahun 1955, parati besar itu adalah PNI, NU, Masyumi, Partai Golkar,
PPP, PKB, PAN, PBB. Selain itu mereka mengalami keterpurukan raihan suara.
Kedua, konstituante hasil Pemilu 1955, hanyalah mencatatkan diri sebagai
konstitusi lembaga negara yang konflik berkepanjangan. Salah satu sejarah yang
tercatat itu adalah munculnya gejala deadlock (jalan buntu) dalam pembahasan
UUD negara, sehingga dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk
kembali ke UUD 1945. Sementara hasil Pemilu 1999, melahirkan dinamika
pertentangan kepentingan politik yang tidak berkesudahan. Dari kasus lengsernya
Gusdur, sampai kontroversinya kasus Akbar Tanjung (Ketua DPR yang terkena kasus
KKN). Koalisi antar partai yang dilakukan partai pemenang Pemilu 1999, hanyalah
bersifat musiman dan alat dalam memuluskan kepentingan partai sendiri. Koalisi
bukan diarahkan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Bila dilihat sejarah
kita, masyarakat Indonesia
diajak untuk merenungkan tentang rasionalitas, proporsionalitas dan
objektivitasnya budaya multipartai. Kasus pertama memberikan kita gambaran
bahwa banyak partai peserta Pemilu hanyalah partai Imajiner (yaitu tidak
memiliki basis masa yang proposional sebagai partai politik). Pada yang kedua,
yaitu multipartai (khususnya Indonesia)
memberikan cerminan sejarah perpecahan dan bukan sejarah akomodasi dan koalisi.
Berpisah, berbeda, berlembaga sendiri adalah budaya yang lebih cenderung
menjadi pilihan elit politik Indonesia.
Perilaku ini lebih menggambarkan sejarah perbedaan dan perpecahan dibandingkan
sejarah koalisi atas dasar nilai persamaan.
Kita memang pernah
memiliki pengalaman Pemilu dengan jumlah partai yang sangat besar. Tahun 1955
dan tahun 1999 adalah dua fakta sejarah yang telah memberikan pelajaran kepada
bangsa ini tentang Pemilu dengan multipartai dan terulang kembali pada Pemilu
sekarang ini. Pada jaman orde baru perkembangan partai memang berbeda dengan
perkembangan partai di era reformasi, dimna hal yang perlu di ingat adalah
sebagai berrikut. Pertama, soliditas ormas atau orsos di masa orde baru,
tidaklah sama solidilitasnya dengan konteks era reformasi. Kedua, kebebasan
ekspresi masyarakat Indonesia
era reformasi lebih terbuka dibandingkan orde baru. Disisi lain demokrasi Indonesia
sangatlah berbeda sekali dengan demokrasi negara-negara lain seperti negara AS.
Sebaiknya negara Indonesia
bercermin ke negara AS mengapa demikian? Karena perlu diingat. Pertama, AS
memiliki gairah politik yang progresif dan dinamis. Tidak kaku dalam memilih,
dan tidak mesti memilih elite politik yang sedang manggung. Hal demikian, agak
sulit di temukan di Indonesia.
Kedua, elite politik adalah elite populis atau elite publik. Sudah barang
tentu, kepopuleran tidak akan menjadi nilai yang menjamin kemenangan dalam
praktik politik, sebelum di ketahui track record-nya dalam membela publik
(rakyat).
Ada suatu perbedaan
yang memonjol antara elite politik di Indonesia dengan elite politik AS
dan negara-negara demokrasi lainnya. Yaitu, kepopuleran elite politik di negeri
ini, adalah milik kelompoknya. Mereka muncul hanya pada saat ramainya partai
politik atau mejelang pemilu saat ini. Sebelum vertifikasi, calon-calon elite
politik ini, banyak yang tidak di kenal oleh masyarakat dan itulah sifat para
elite politik di Indonesia, yaitu muncul pada saat pemilu dan tenggelam sesaat
seusai pemilu. Memang sistem kepartaian dari suatu negara merupakan faktor
penting yang menetukan apa yang dikerjakan oleh pemerintahannya terhadap dan
untuk rakyatnya. Karena partai politik itu sangat di pengaruhi oleh stablitas,
revolusi, kebebasaan, persamaan dan keadilan.
e. Kesimpulan
Walaupun Indonesia
telah menganut kebebasan dalam demokrasi di era reformasi. Yang perlu di ingat
oleh partai-partai politik di Indonesia
khususnya di jaman reformasi ini. Partai politik harus mengerti apa artinya di
tinggalkan oleh massa
yang secara politik tampak mulai berkembang di era reformasi ini. Hal tersebut
di karenakan prrtai-partai politik tidak cukup untuk memberikan sebuah harapan
yang jelas, sehingga kecendrungan upaya untuk bersikap Golput juga masih
muncul. Memang ini merupakan suatu proses bahwa kekuatan-kekuatan politik di Indonesia juga
mulai melihat gejala-gejala politik semancam ini. Walaupun ada yang sikap
kritis dengan melihat bahwa partai-partai politik tidak punya harapan, atau pun
sikap masyarakat yang sudah memilih partai lain yang tidak terikut oleh
simbol-simbol tradisional. Tetapi masyarakat lebih melihat pada prilaku
politik. Itulah yang membuat partai-partai politik di jaman reformasi mulai
belajar dan mereka juga harus belajar memperbaiki diri serta memperkokoh struktur-struktur
pilihan politik mereka, sehingga baik dari elite politik dan partainya bisa
lebih di kenal wataknya oleh rakyat.