PERANAN BIROKRASI DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
PERANAN BIROKRASI DALAM
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
PENGANTAR
Birokrasi pemerintah adalah
institusi yang kuat eksistensinya karena mempunyai kewenangan yang besar dan
begitu luas memiliki sumber daya yang tidak cukup dalam menjalankan
kekuasaannya dibanding dengan organisasi lain dalam sebuah Negara. Ia merupakan
institusi yang dominan dalam implementasi kebijakan publik yang mempunyai
kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap hierarkinya. Itulah sebabnya,
birokrasi paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kegiatan.
Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam struktur pemerintah, tetapi juga ada
dalam organisasi-organisasi swasta, institusi pendidikan dan sebagainya. Bahkan
dalam kasus-kasus tertentu birokrasi diciptakan hanya untuk menjalankan suatu
kebijakan tertentu.
Birokrasi diciptakan sebagai
instrumen dalam menangani keperluan-keperluan publik (public affair), mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda,
fungsinya berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas serta bukan kekuatan
yang netral dan tidak dalam kendali penuh dari pihak luar.
Oleh sebab itu, birokrasi pemerintah
menjadi kekuatan dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan public. Dengan
demikian, birokrasi mempunyai peranan
penting dalam implementasi kebijakan public. Peranan itu biasanya diterjemahkan
dalam pola pembagian tugas dan tanggung jawab yang terkendali.
Hal ini tercermin dalam konsep
awal yang mendasari gagasan modern tentang birokrasi berasal dari
tulisan-tulisan Max Weber, seorang Sosiolog Jerman, yang mengetengahkan
ciri-ciri pokok dari birokrasi sebagai berikut:
1. Birokrasi
melaksanakan kegiatan-kegiatan reguler dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Dalam mencapai tujuan tersebut dilakukan pembagian tugas dan tugas-tugas
tersebut dilaksanakan oleh para ahli sesuai spesialisasinya.
2. Pengorganisasian
kantor berdasar prinsip hierarkhi. Dalam prinsip hierarkhi unit yang besar
membawahi dan membina beberapa unit kecil. Setiap unit kecil dipimpin oleh
seorang pejabat yang diberi hak, wewenang, dan pertanggungjawaban untuk
melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya.
3. Pelaksanaan
tugas diatur dengan suatu peraturan formal dan aturan tersebut mencakup tentang
keseragaman dalam melaksanakan tugas.
4. Pejabat
yang melaksanakan tugas-tugasnya dengan semangat pengabdian yang tinggi.
5. Pekerjaan
dalam organisasi birokratis didasarkan pada kompetensi teknis dan dilindungi
dari pemutusan kerja secara sepihak. Menganut suatu jenjang karier berdasar
senioritas dan prestasi kerja.
6. Pengalaman
menunjukkan bahwa tipe organisasi administratif yang murni berciri birokratis
dilihat dari sudut teknis akan mampu mencapai tingkat efisiensi yang tertinggi.
Dalam hubungannya dengan Implementasi
kebijakan yang bersifat kompleks, menuntut adanya kerjasama banyak pihak.
Kerjasama ini hanya mungkin terdapat dalam birokrasi yang mempunyai struktur
yang ideal dengan pembagian tugas yang jelas. Ketika strukur birokrasi tidak
kondusif terhadap implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan menyebabkan
ketidakefektifan dan menghambat jalanya pelaksanaan kebijakan.
Dengan demikian, maka peranan
birokrasi sangat penting. Karena Birokrasi merupakan alat dalam
mencapai efesiensi yang setinggi-tingginya dalam administrasi Negara. Karena sebagai alat maka mempunyai
kewenangan dan kekuasaan. Atas dasar
kewenangan dan kekuasaan inilah segala kegiatan dilaksanakan. Karenanya pelaksanaan politik Negara
selalu tergantung pada kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepada
birokrasi.
PERAN BIROKRASI DALAM IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN
Menyoalkan tentang peranan birokrasi
dalam implementasi kebijakan, mengantarkan kita pada tiga pertanyaan besar,
yakni: apa yang harus dilakukan dalam implementasi
kebijakan? bagaimana realitasnya?
dan apa kendala dalam mengimlementasikan
suatu kebijakan?
Kita awali
dengan pertanyaan yang pertama:
1.
APA
YANG HARUS DILAKUKAN DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Lineberry menyatakan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam implementasi:
1)
Pembentukan Unit Organisasi Atau Staf Pelaksana
Sumber daya utama dalam implementasi
kebijakan adalah staf atau pegawai (street-level bureaucrats). Kegagalan
yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan, salah-satunya disebabkan oleh
staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam
bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup
menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah
kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan
kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan.
2)
Penjabaran Tujuan Dalam Berbagai Aturan Pelaksana
(Standard Operating Procedures/SOP)
Menurut Edwards III dalam Winarno
(2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni: ”Standard
Operational Procedure (SOP)’. Standard operational procedure (SOP)
merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya
serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas”.
(Winarno, 2005:150). Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa digunakan
untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta.
Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia
dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam
organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan
fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan.
SOP sangat mungkin dapat menjadi
kendala bagi implementasi kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru
atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan
begitu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang
lazim dalam suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat
implementasi.
”Namun demikian, di samping
menghambat implementasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat.
Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur perencanaan yang luwes dan
kontrol yang besar atas program yang bersifat fleksibel mungkin lebih dapat
menyesuaikan tanggung jawab yang baru daripada birokrasi-birokrasi tanpa
mempunyai ciri-ciri seperti ini”.
3)
Koordinasi Berbagai Sumber Dan Pengeluaran Pada Kelompok
Sasaran Serta Pembagian Tugas Diantara Badan Pelaksana
`Pembagian tugas merupakan ciri utama birokrasi. Tugas-tugas
pejabat diorganisir berdasarkan aturan yang berkesinambungan. Tugas-tugas
tersebut dibagi menurut bidang dan dibedakan atas fungsi dan masing-masing
dilengkapi dengan persyaratan otoritas dan sanksi-sanksinya.
4)
Pengalokasian Sumber-Sumber Untuk Mencapai Tujuan
Sumber daya diposisikan sebagai input
dalam organisasi sebagai suatu sistem yang mempunyai implikasi yang bersifat
ekonomis dan teknologis. Secara ekonomis, sumber daya bertalian dengan biaya
atau pengorbanan langsung yang dikeluarkan oleh organisasi yang merefleksikan
nilai atau kegunaan potensial dalam transformasinya ke dalam output.
Sedang secara teknologis, sumberdaya bertalian dengan kemampuan transformasi
dari organisasi. (Tachjan, 2006:135)
Menurut Hogwood dan
Gunn, hal-hal
yang harus dilakukan dalam implementasi kebijakan adalah berikut ini yaitu:
1)
Menyedia waktu dan sumber-sumber
yang memadai;
2)
Memadukan
sumber daya yaitu manusia, dana dan
fasilitas-fasilitas pendukung lainnya;
3)
Kebijakan yang di implementasikan harus didasari hubungan kausalitas yang
erat;
4)
Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan;
5)
Tugas-tugas harus terperinci dan ditempatkan pada urutan yang tepat;
6)
Menyempurnakan
komunikasi dan
koordinasi
7)
Pihak-pihak yang memiliki wewenang dapat menuntut dan memperoleh kepatuhan
kewenangan.
2.
BAGAIMANA REALITASNYA
Richard Elmore (1979), Michael
Lipsky (1971), dan Benny H. Jern dan David O’Porter (1981), menyusun suatu
model yang dimulai dari mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat dalam
proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan
kontak-kontak yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis
kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri
implementasi kebijakannya atau tetap melibatkan pejabat pemerintah namun hanya
di tataran rendah. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan
harapan, keinginan, publik yang menjadi target atau kliennya, dan sesuai pula
dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan model ini
biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara langsung maupun melalui
lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).
Berbicara tentang realitas yang di
hadapi birokrasi ternyata tidak sebaik
yang dibicarakan dalam teori. Birokrasi sering mengalami persoalan dalam
hal sumber daya bahkan struktur yang tidak ideal dengan beban tugas yang diembani kepadanya.
Sumber daya misalnya. Alasan klasik yang
sering kita temukan adalah kurangnya sumber-sumber pembiayaan, sehingga tidak
cukup untuk membiayai tugas-tugasnya. Meski demikian, tetapi masih terlihat
korupsi yang merajalela di setiap tingkatan birokrasi pemerintah. Oleh sebab
itu, ini bukan persoalan kurangnya sumber pembiayaan tetapi persoalan tindakan
dari oknum yang tidak bermoral seperti itu.
Dari segi sumber daya manusia, birokrasi
sangat akan akan sumber daya itu jika dipandang dari sisi kuantitas, namun persoalannya
terletak pada kualitasnya. Kualitas personil birokrasi pemerintah sangatlah
rendah ketimbang personil yang dimiliki
oleh organisasi swasta. Produktivitas dan jiwa inovasinya sangat rendah. Hal
ini mungkin disebabkan oleh para personil masih berorientasi pada komando dalam
setiap pelaksanaan tugas. Kesalan lain adalah rekruitmen pegawai yang tidak
transparan. Kadang kala rekruitmen itu atas dasar criteria-kriteria pribadi
yang tidak sejalan dengan tujuan organisasi.
Permasalahan yang paling urgen juga
adalah masalah stuktur organisasi yang tidak ideal dengan tugas yang diemban
kepada birokrasi. PP No. 41 Tahun 2007 mengisyaratkan bahwa stuktur organisasi
birokrasi harus dibuat seramping mungkin agar tidak menimbulkan pemborosan pada
dana dan daya. Artinya menciptakan organisasi yang miskin struktur dan kaya
fungsi. Namun yang terjadi tidaklah demikian. Fakta berbicara yang terjadi
justru sebaliknya. struktur tidak ideal. Artinya, organisasi yang ditemukan di
lapangan lebih kaya akan sturktur dan miskin fungsi. Dengan demikian, maka
sulit bagi birokrasi dapat melaksanakan kebijakan public dengan baik.
3.
APA KENDALA DALAM MENGIMLEMENTASIKAN SUATU
KEBIJAKAN
Bertolak dari pendapat beberapa para
ahli kebijakan public tentang Model atau
pendekatan Implemetasi kebijakan, kendala yang sering dihadapi dalam
pelaksanaan kebijakan public antara laian adalah sebagai berikut:
- Kendala dalam hal Sumber Daya yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan
Sumberdaya yang dimaksud, meliputi:
1.1.Staf. Sumber daya utama dalam
implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai (street-level bureaucrats).
Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan, salah-satunya
disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak
kompeten dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja
tidak cukup menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan
sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten
dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan.
1.2.Informasi. Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua
bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan
kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana
terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.
1.3.Wewenang. Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah
dapat dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan otoritas atau
legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan
secara politik. Ketika wewenang tidak ada, maka kekuatan para implementor di
mata publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan implementasi
kebijakan publik. Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal
tersedia, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan.
Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam implementasi kebijakan;
tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan
oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau kelompoknya.
1.4.Fasilitas. Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel dan
kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka
implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
- Kendala yang berkaitan dengan Disposisi
Faktor-faktor yang menjadi perhatian
menurut Edward III dalam Agustinus (2006:159-160) mengenai disposisi dalam
implementasi kebijakan terdiri dari:
2.1.Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akan
menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila
personel yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh
pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihan
personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada
kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga
masyarakat.
2.2.Inisiatif. Inisiatif merupakan salah-satu
teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan
dengan memanipulasi insentif. Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan
kepentingan dirinya sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat
kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah
keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang
membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan
sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.
- Kendala dalam hal Komunikasi yang berkaitan dengan isi dan tujuan yang akan dicapai oleh suatu kebijakan
Komunikasi merupakan salah-satu
variabel penting yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, komunikasi
sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan
publik”. Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para pembuat keputusan
mengetahui mengenai apa yang akan mereka kerjakan. Informasi yang diketahui
para pengambil keputusan hanya bisa didapat melalui komunikasi yang baik.
Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengkur keberhasilan
variabel komunikasi. Edward III dalam Agustino (2006:157-158) mengemukakan tiga
variabel tersebut yaitu:
3.1.Transmisi. Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan
suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah dalam penyaluran
komunikasi yaitu adanya salah pengertian (miskomunikasi) yang disebabkan
banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam proses komunikasi,
sehingga apa yang diharapkan terdirtorsi di tengah jalan.
Terdapat beberapa hambatan umum yang
biasa terjadi dalam transmisi komunikasi yaitu:
Pertama, terdapat pertentangan antara
pelaksana kebijakan dengan perintah yang dikeluarkan oleh pembuat kebijakan.
Pertentangan seperti ini akan mengakibatkan distorsi dan hambatan yang langsung
dalam komunikasi kebijakan. Kedua,
informasi yang disampaikan melalui berlapis-lapis hierarki birokrasi. Distorsi
komunikasi dapat terjadi karena panjangnya rantai informasi yang dapat
mengakibatkan bias informasi. Ketiga,
masalah penangkapan informasi juga diakibatkan oleh persepsi dan ketidakmampuan
para pelaksana dalam memahami persyaratan-persyaratan suatu kebijakan
3.2.Kejelasan. Komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan (street-level-bureaucrats)
harus jelas dan tidak membingungkan atau tidak ambigu/mendua.
3.3.Konsistensi. Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi
harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau dijalankan. Jika perintah yang
diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi
pelaksana di lapangan.
- Sikap penolakan dari agen kelompok sasaran atau bahkan pelak agen pelaksana kebijakan
Sikap penerimaan atau penolakan dari
agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan
yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul
permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik
biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan
tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan
yang harus diselesaikan.
KESIMPULAN
Bergayutan dengan pembahasan di atas, birokrasi
dapat mendukung keberhasilan sebuah kebijakan, namun juga dapat menyebabkan
kegagalan dalam pencapaian tujuan suatu kebijakan public. Oleh sebab itu, perlu
dibangun birokrasi berkultur dan struktur rasional-egaliter, bukan
irasional-hirarkis. Caranya dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar
sehat dan mengunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat
pioner, bukan memelihara budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan
mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, inisiatif,
antisipatif dan proaktif, cerdas membaca
keadaan kebutuhan publik, memandang semua orang sederajat di muka hukum,
menghargai prinsip kesederajatan kemanusian, setiap orang yang berurusan
diperlakukan dengan sama pentingnya.
Faktor komunikasi sangat berpengaruh
terhadap penerimaan kebijakan oleh kelompok sasaran, sehingga kualitas
komunikasi akan mempengaruhi dalam mencapai efektivitas implementasi kebijakan
publik. Dengan demikian, penyebaran isi kebijakan melalui proses komunikasi
yang baik akan mempengaruhi terhadap implementasi kebijakan. Dalam hal ini,
media komunikasi yang digunakan untuk menyebarluaskan isi kebijakan kepada
kelompok sasaran akan sangat berperan
Pengaruh dimensi komunikasi, sumber
daya, sikap pelaksana (disposisi), struktur birokrasi mempunyai pengaruh
signifikan terhadap kinerja birokrasi, baik secara parsial (terpisah sendiri-sendiri)
maupuan secara simultan. Namun demikian, ditemukan hambatan komunikasi dimana
terdapat disiplin rendah dan pemahaman tugas serta tanggung jawab yang kurang
dari petugas pelaksana kebijakan”.
________________________________________
KONTRIBUTOR/PENULIS: Sdr. Elkana Goro Leba, MPA. Artikel
ini disesuaikan dari berbagai sumber, Mohon maaf bila ada kesalahan
pengutipan atau informasi yang kurang tepat karena "TIADA GADING YANG
TIDAK RETAK". Terima kasih, karena sudah mampir. Salam!
JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR DI BAWAH.
________________________________________ JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR DI BAWAH.
Selamat.. semoga menjadi anak bangsa yg mampu memberikqn sumbangsih bagi kemajuan Indonesia..
ReplyDeleteoKE gONO tERIMA kASIH aTA kUJUNGANNYA yA!!!!
DeleteoKE gONO tERIMA kASIH yA
ReplyDelete